Mohon tunggu...
Feny Livia Manjorang
Feny Livia Manjorang Mohon Tunggu... Lainnya - masih beginner.

menulis = menegur diri sendiri. mari saling menegur namun tetap mengasihi:-)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belum Ada Faktanya, Kok Mudah Jatuh Cinta?

6 September 2019   22:37 Diperbarui: 6 September 2019   23:05 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"manusiaku seperti Tuhan yang terlihat masih saja menafsirkan makna setiap hal yang terjadi"

Peradaban Indonesia memiliki sejuta kerutinan pada masyarakatnya, banyak hal dahulu yang belum bisa ditinggalkan sampai sekarang. Kemajuan teknologi dan banyaknya penemuan baru, tidak cukup  memusnahkan masyarakat yang hobi mencocoklogikan suatu kejadian.Contohnya seperti kesurupan kemarin yang terjadi di kampusku, mahasiswa  menghubungkannya dengan  lagu kuntilanak yang diputar sebelum kejadian dan menganggap bahwa hal itu mengundang sang dedemit padahal setelah ditinjau ulang belum tentu itu penyebabnya. Bisa jadi, mahasiswa yang kesurupan melamun dan sedang berada dalam kondisi yang tidak baik.

Tidak hanya kasus tersebut, ada banyak lagi kasus yang menarik kita untuk percaya menghubungkan kejadian, waktu, tempat, alam, dan bahkan masa depan.Mengapa hal ini sampai bisa terjadi? Mengapa kita lebih mudah terpengaruh terhadap suatu hal yang belum ada faktanya, tidak bisa diuji kebenarannya, dan tanpa memikirkan kemungkinan kesalahan? Apakah cocoklogi sudah membudaya hingga mahasiswa mampu membuat rumus algoritme sendiri terhadap suatu kejadian?

Berawal dari cocoklogi secara tidak sadar kita telah menyuburkan teori konspirasi dikalangan masyarakat. Teori yang sangat unik dikemas menarik dan diceritakan secara berlebihan, seolah terlihat saintis dan tidak ada kejanggalan.Namun tanpa sadar saat diujicoba, hipotesisnya sangat lemah dan tidak bisa dijelaskan dengan nalar logika, mengkajinya saja membuat kita seperti keliling lingkaran yang tidak ada ujungnya. Tapi teori ini jugalah yang sering  memberdaya manusia, ketika membicarakannya kita diperbudak untuk "ya,ya, tidak,tidak" dan mendiskusikannya bersama serta mengkaitkan dengan hal lain sampai terlihat masuk akal.

Korbannya tidak mengenal batasan usia dan tingkat pendidikan. Zaman yang semakin maju, tidak melangkakan teori ini justru semakin  memikat masyarakat.Selain itu juga, kekejaman pada teori ini bisa merusak peradaban karena mempertajam perpecahan manusia yang membumi. Peluang konflik yang ditimbulkannya bagai bom yang meledak secara tiba-tiba, orang percaya dan skeptis beradu memecahkan kebenaran teori tersebut.Makhluk lain yang berilusi menambah komunitas percaya teori konspirasi, lalu sang pembuat onar menyederhanakannya dengan kemampuan berpikir yang tidak kritis. Sungguh miris, hidup teori konspirasi!       

Lalu mau sampai kapan begini?  Membiarkan teori-teori tersebut tetap hidup dan menjamur di masyarakat, tidakkah kita berniat untuk menghela itu semua? Apalagi semakin maraknya fearmogering, tentu ini menjadi ancaman baru.Mari perbaiki fungsi literasi kita, agar teori konspirasi, asas cocoklogi, dan hoax bukan lagi menjadi makanan yang mengenyangkan kita. Jangan sampai otak dicuci oleh edaran tapi fungsikan otak untuk mengkaji kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun