Mohon tunggu...
Fenny Trisnawati
Fenny Trisnawati Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Manusia cuma bisa usaha, Tuhan yang tentukan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ujung Senja

27 Desember 2020   10:39 Diperbarui: 27 Desember 2020   10:53 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selamat Hari Ibu...

Ucapan ini bersileweran di media sosial, status whatsapp ketika tiba tanggal 22 Desember. Ya, tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Semua orang berlomba-lomba menulis ucapan selamat hari ibu, di grup whatsapp, telegram, facebook. Aku hanya sekilas membaca tulisan yang naik setiap kali aku scroll ke atas. Aku cenderung untuk melewatkan saja ucapan-ucapan tersebut, yang ditulis dengan sepenuh hati bahkan dengan emoticon haru dan sejenisnya.

Hatiku menciut setiap ada hal yang berkaitan dengan kasih sayang ibu, pengorbanan ibu dan sejenisnya. Jangan salah, aku punya seorang ibu, tapi aku tidak merasakan bagaimana lembutnya ibu. Ibuku orang yang keras bukan tegas. Hampir tidak ada nasihatnya yang bisa kuiingat dengan jelas, kecuali nasihat tentang pentingnya mencari suami yang banyak harta, bagaimana pentingnya untuk 'mengajari' suami agar bisa diatur. 

Ibuku adalah kepala rumah tangga, semua keputusan di rumah harus dengan ijinnya. Bukan, bukan karena tidak ada Bapak. Keluargaku lengkap, ada Bapak dan Ibu, hanya saja Bapak tidak berdaya dan akan menyerahkan semuanya kepada Ibu untuk diputuskan, bahkan baju dan celana dalam apa yang harus dipakai. 

Pernah dulu suatu kali, Bapak yang seorang supir travel antar kota, singgah di rumah orang tuanya sepulang dari narik. Bapak berinisiatif memberikan uang 20 ribu kepada orang tuanya yang hanya pensiunan tukang sapu jalan. Sesampainya di rumah, Bapak bercerita kepada Ibu tentang hal tersebut. Tak disangka ternyata Ibu marah besar kepada Bapak, Ibu bilang berani-beraninya Bapak memberikan uang kepada orang lain, sedangkan di rumah saja kurang. Ibu memang tidak bekerja, jadi kami semua bergantung kepada Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Bapak hanya terdiam mendengarkan amarah Ibu. 

Aku sebagai anak tertua tidak mengerti mengapa Ibu sangat murka, padahal Bapak kan memberi uang kepada Nenek, bukan orang lain. Ibu juga akan marah bila Bapak membeli makanan atau jajan tanpa ijinnya. Ketika bulan puasa, Bapak pulang membawa kue-kue untuk buka puasa, Ibu bertanya darimana Bapak dapat kue ini, Bapak menjawab bahwa kue ini dibelinya di penjual kue di pasar Ramadhan, untuk anak-anak katanya. Ibu mendengar hal tersebut langsung mengambil plastik kue dan melemparnya ke teras rumah. 

Ibu mendengungkan tentang pentingnya berhemat, bahwa di rumah Ibu sudah memasak dan bahwa Bapak tidak perlu membeli tambahan kue lagi karena hanya akan menghabiskan uang saja, dan sederetan amarah ibu yang tidak aku mengerti. Rumah kontrakan kami memang kecil, jadi dari dalam rumah bisa dengan mudah membuang apa-apa keluar. Sekali lagi, Bapak hanya terdiam, dengan suara pelan, dia menyuruh kami untuk memungut kue tersebut, sayang sudah dibeli, katanya. Hanya kalimat itu saja yang keluar dari mulut Bapak.

Selama bertahun-tahun Bapak sudah demikian, tidak punya kuasa di rumah, hanya mencari uang, dan kemudian menyerahkan kepada Ibu untuk dikelola. Dan aku dan saudara-saudaraku yang lain merasa, bahwa begitulah rumah tangga yang ideal. Perempuan mengatur rumah tangga, dan memang hal itulah yang diajarkan oleh Ibu kepada kami anak perempuannya.

Bapak selalu menahan apapun yang ada di pikirannya, idenya, perasaannya, terkurung dalam belenggu cinta dan hormat kepada Ibu.  Mungkin Bapak sangat mencintai Ibu sehingga apapun yang diminta dan diinginkan Ibu, Bapak selalu berusaha memenuhinya, apaun caranya, sekalipun itu harus berhutang kesana kemari. Apakah ini yang namanya cinta? Aku rasa ini bukan cinta, bukankah cinta itu saling menghormati dan menghargai? Aku tidak pernah bisa memahami Bapak, karena tiap kali bercerita Bapak selalu membanggakan Ibu sebagai seorang istri yang pandai berhemat dan harus ditiru, mungkin karena rasa cintanya yang besar kepada Ibu, atau Bapak ingin kami menghormati Ibu.

Kini di masa tuanya, aku melihat Bapak semakin kurus, ditambah lagi dengan penyakit jantung yang dideritanya mengharuskan Bapak harus sering minum obat-obatan dari dokter yang jumlahnya lumayan banyak. Aku tahu, karena aku selalu melihat plastik kecil putih itu di dekat TV, biar nggak lupa makan obat, kata Bapak. 

Duh...Bapak....masih saja tidak berubah tutur katanya. Cuma sekarang aku melihat Bapak tidak sesabar dulu terhadap amarah Ibu. Sekarang Bapak sudah mulai berani membantah Ibu, akibatnya mereka jadi sering ribut untuk hal yang sepele. Ibu telah terbiasa selama bertahun-tahun pernikahan selalu diikuti kemauannya, kini mendapat bantahan dari Bapak, tentu saja menyulut amarah Ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun