Jatuh lalu bangkit lagi, dengan semangat tanpa henti. Kalimat tersebut acap kali kita dengar sebagai pemacu meraih kehidupan yang lebih baik dan demi menggapai mimpi. Hanya saja terkadang saat cobaan itu berhadapan dengan kita, seringnya kita menyambutnya dengan keluh kesah dan meratapi keadaan.
Di sinilah, tokoh Manu, saudara kembar dari Mana, mencoba meraih kehidupannya yang lebih baik meski ujian menimpanya. Mulai dari kegagalannya dalam tes masuk fakultas kedokteran di kampungnya, Surabaya, dan kebimbangannya kala menjejakkan kakinya ke ibukota Jakarta. Berbekal ingatannya akan alamat rumah temannya, Awan, Manu menetap sementara di sana. Pergulatan hidup dijalaninya, dari menjadi tukang parkir, tukang kantong kresek hingga pertemuannya dengan Ibu Lidya yang membawanya menjadi asisten rumah tangga sekaligus pengasuh dari bocah berkebutuhan khusus, Gema, putri Ibu Lidya.Â
Saat menjadi asisten rumah tangga, Manu menjajal kembali peruntungannya untuk tes masuk fakultas kedokteran. Impiannya pun kembali kandas. Melihat ketelatenan Manu terhadap Gema, Ibu Lidya pun mengarahkannya untuk kuliah mengambil jurusan psikologi. Begitupula dengan saran dari Mia - wanita yang menjadi pujaan hatinya - mengarahkan Manu untuk mengambil fakultas psikologi. Manu yang mendengar saran tersebut, sukses menjadikannya sebagai pemerhati anak -anak. Dalam buku ini dibaluri pula dengan kisah cinta Manu kepada Mia yang berakhir dengan pernikahan.
"Manu, kebahagiaan hati yang paling hakiki bergantung dari bagaimana batin kita menerima segala sesuatu yang harus dihadapi dan cara pandang dalam meresponnya. Batin manusia berfungsi sebagai mediator dalam tercapainya keselarasan antara jiwa dan raga. Kita memang sebaiknya tidak memaksakan diri melakukan hal yang di luar keinginan hati, tapi jika hal itu perlu dilakukan untuk perbaikan diri dan bermanfaat buat orang banyak, kenapa tidak dilakukan? Jangan pernah menempatkan diri kita menjadi korban keadaan, tapi fokuslah dengan apa yang bisa kita lakukan." (Hlm. 59).
Karangan dari Sintha Rosse ini, menampilkan perbedaan yang unik dari dua buku karangannya yang lain, yaitu Sajakku Berkisah dan Cinta Pemula. Di sini, penulis lebih menonjolkan sisi motivasi pada perjuangan hidup. Peran serta Kak Seto pun dalam buku ini menambah khasanah dan menggiring pembaca untuk sadar akan perlindungan dan memerhatikan anak - anak.
Buku ini terdiri dari lima bab, dan cukup disayangkan dengan adanya kata kutipan yang ditemukan di setiap awal bab. Menurut hemat saya, kurang efisien digunakan. Andaikan penulis memfokuskan pada ceritanya maka tentunya akan lebih gurih untuk dibaca dan bisa lebih menguras emosi pembaca.
Sangat disayangkan pula untuk penggunaan judul utama pada buku ini, karena judul tersebut sudah ada digunakan sebelumnya, yang mana isi, anak judul, dan ceritanya berbeda. Namun dari kelemahan tersebut, tidak mengurangi akan amanat yang ingin disampaikan penulis, karena dapat dirasakan dan cepat untuk diserap sehingga mudah untuk diterapkan. Bila ingin membaca sajian novel yang berbeda, buku ini bisa untuk dijadikan referensi.
                                                        Â
Resensi dari buku : "Bukan Untuk Dibaca - Sebuah Perenungan Sederhana"
Penulis : Kak Seto & Sintha Rosse
Terbit : Maret 2017
Tebal buku : 229 halaman
Penerbit : Writerpreneur Club
ISBN : 978-602-6719-01-0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H