Mohon tunggu...
Fenni Bungsu
Fenni Bungsu Mohon Tunggu... Freelancer - Suka menulis

Penyuka warna biru yang senang menulis || Komiker Teraktif 2022 (Komunitas Film Kompasiana)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menampar Piring yang Terhidang

3 Desember 2023   11:21 Diperbarui: 3 Desember 2023   11:21 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meja makan (dokumentasi pribadi milik fennibungsu.com)

Sebuah restoran itu terbilang ramai

Banyak slot meja dan kursi sudah terisi dengan para pencari hidangan

Cuaca pun mendukung, begitu juga ruangannya terbilang besar,

semilir hembusan udara pendingin sejenak menyampaikan: Say, Hi! kepada kejujuran.

Satu per satu bergegas mencari posisi manis

Toh ungkapannya, posisi akan menentukan prestasi

tapi di sini, posisi terbaik adalah untuk mendapat setumpuk kejujuran.

Entah mengapa, harus tersedia rasa jujur untuk hidangan di meja itu

Padahal kan, makan ya tinggal makan

Untuk rasa dalam makanan seperti apa? Tak jauh dari rasa asin, manis, pedas, pahit, hambar, dan gurih.

Jadi tak perlu grasak-grusuk membahas soal jujur, karena sudah tidak bau kencur, bukan?

Ilustrasi lauk yang akan dihidangkan (dokumentasi pribadi milik fennibungsu.com)
Ilustrasi lauk yang akan dihidangkan (dokumentasi pribadi milik fennibungsu.com)

Sayangnya impian jauh dari apa yang ada di depan mata,

sebuah kejutan yang hangat dan penuh keajaiban tak mampu diraih

tatkala si jujur datang memenuhi undangan,

dan telah lebih dulu menitip menu yang akan disantap berikut nominal yang akan dibayarkan.

Si jujur mulai mengetuk untuk bertanya, "Mana pesananku?"

Semua pasang indera penglihat menoleh ke arah yang bersuara itu.

"Hanya ini sajakah?" Diangkatnya piring berisi nasi dan sayur, tanpa lauk kesukaannya.

Tak ada satupun yang mampu menjawab, 

meski lengkingan pertanyaannya terdengar tanpa perlu menggunakan pengeras suara. 

Bergeming dengan tertunduk lesu yang bisa dilakukan si para pencari tadi.

Diantaranya hendak menenangkan, tapi air muka kejujuran tak lagi berselera menatap benda bernama piring itu.

Demi sebuah penghormatan kepada rejeki di hadapan,

si jujur itu pun harus menghabiskannya termasuk tumpukan dolar, untuk hidangan meja bundar.

Meskipun alat pendingin ruang telah dipasang hingga derajat paling kecil, 

hembusan angin pun tak lagi menyeruakkan kesejukan untuknya.

Si jujur itu pun hengkang tanpa peduli dengan gemerincing piring dan simbolis kedua tangan yang terkatup.

Ilustrasi meja makan (dokumentasi pribadi milik fennibungsu.com)
Ilustrasi meja makan (dokumentasi pribadi milik fennibungsu.com)

Jelang Jam Makan Siang di Jakarta, 3 Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun