Duduk sambil membaca komik, dia terlihat sangat manis. Jeans hitam, kaus hitam dan jaket parasut tebal berwarna cokelat.
Berdiri dan bertanya padaku tentang penampilan nya, aku hanya menjawab kalau dia terlihat Cantik. Sebentar lagi kami akan pergi menuju sebuah Kafe di Lereng Gunung Lawu. Kafe dimana temanku ini bekerja, dia selalu ingin mengajakku kesana. Dia berkata bahwa, pemandangan disana sangatlah indah, jadi akupun menyetujuinya.
Sebuah kafe berukuran sedang dengan nyala lampu kuningnya, seperti menggoda orang untuk mampir sekadar menikmati secangkir kopi dan menikmati suasana. Dengan cepat Citra membawaku menuju sebuah meja dengan dua kursi dibagian paling pojok dari kafe tersebut.
Setelah aku duduk, Citra pergi untuk memesan kopi.
Pemandangan dari sini membuatku terkesan. Kota kecil tempatku tinggal terlihat penuh dengan gemerlap lampu jalanan juga penuh dengan begitu banyak kendaraan, lampu –lampu mereka terlihat seperti titik –titik dengan berbagai macam warna, seperti menari-nari diatas kanvas hitam. Satu lagi, disini angin selalu berhembus, dingin, tapi menyegarkan. Walau kadang merepotkan para pengidap alergi dingin.
Tidak lama kemudian, Citra kembali membawa dua cangkir kopi hitam.
Kopi hitam panas tanpa sedikitpun gula kutambahi, dengan pahitnya membuatku merasa seperti takkan pernah lagi menyentuh kopi instan dalam sachet.
Kami duduk berhadapan, saling menghibur dengan candaan masing–masing, tertawa dengan lepas, santai tanpa ada beban menggantung. Senang rasanya melupakan kebosanan akan kehidupan selama sesaat. Sudah sekitar sepuluh menit, seorang gadis mengenakan kemeja putih dan celemek hitam dengan sebuah pin bertuliskan ‘Siska’, datang membawakan dua piring sedang berisi kentang goreng. Dengan berhati-hati dia menaruhnya di meja lalu memandang Citra selama beberapa detik, seperti berkomunikasi secara telepatik, ‘Siska’ mengangguk lalu berjalan menuju meja lain untuk mengambil pesanan.
“Siska, agak cemburu, biasa, Jones” Citra berkata dengan santai,
“Padahal cantik loh” kataku dengan lepas, seakan kata-kataku itu tidak akan berbuat apa-apa.
Tapi kusadari tangannya mulai terkepal setelah aku mengatakan itu.
I swear, ini tempat dengan pemandangan paling indah disekitar kotaku pada malam hari. Dan aku menjadi paham, kenapa Citra bisa betah bekerja di kafe ini, walaupun hanya menerima dan mengantar pesanan dari kasir kemeja dan sebaliknya. Pemandangan dan suasana di sini tidak ternilai harganya.
Dengan sangat terpaksa, kami meninggalkan kafe dengan pemandangan indah ini. Karena masing -masing dari kami memiliki kesibukan tersendiri di pagi hari.