Inilah catatan istri saya ketika menjalani perawatan baik saat rawat jalan maupun rawat inap. Catatan ini bukan mutlak medis tapi sebagian analisa yang memudahkan istri untuk menerangkan ke dokter yang sering berganti-ganti di RS walau pun itu dalam satu RS karena terkadang ke poli Syaraf, poli rematik bahkan sewaktu di IGD di RSCM dan RS PKO Muhammadiyah. Catatan ini sengaja di-share atas permintaan beberapa teman terutama di kompasiana, semoga dapat berguna bagi pasangan, keluarga, saudara maupun teman yang mempunyai penyakit yang perlu Penanganan Ekstra dalam menjaga lingkungan tetap kondusif seperti Multiple Schlerosis, Devic Desease maupun penyakit imunitas lainnya. Nama: Nanik Supriyanti (1981-2013) alumni Jurusan Bahasa Indonesia UGM tahun 1999 dan Jurusan Linguistik UI tahun 2010. Diagnosa: Multiple Schlerosis_MS (2007), Devic Disease (2013)
- 2003: mengalami seperti kesetrum atau nyeri sesaat di beberapa bagian tubuh (kepala, punggung). Awalnya seperti ingin menyentuh/menggaruk, kemudian akan nyeri beberapa detik dan kemudian bisa hilang sendiri.
- 4 Desember 2003: Mata kiri tiba-tiba buram, kemudian benar-benar gelap. Hidung dokter di depan mata pun tak tampak. Berobat ke RS Mata YAP Yogyakarta, katanya infeksi saraf, lalu diobati antibiotik Clindamycin selama kurang dari sebulan bisa sembuh normal/terang kembali. Sudah periksa lapang pandang, tekanan bola mata, dll. Pada 2004 awal saya mengalami serangan serupa pada mata.
- 24 Oktober 2004: Mata kanan mengalami gejala serupa berobat di Spesialis Mata RS PMI Bogor. Diberi antibiotik Medixon, dexametason, dll, kemudian sembuh.
- 12 Desember 2004: Mata kanan/kiri (saya agak lupa mata yang mana) kembali gelap. Berobat di Spesialis Mata RS PMI Bogor dan sembuh.
- 7 Februari 2005-10 Feberuari 2005: Masuk RS Azra, Bogor karena maag dan didiagnosa usus buntu. Tidak jadi operasi usus buntu, lalu pulang sore. Sekitar satu bulan lebih saya tidak bisa buang air besar, tetapi memang selama waktu itu saya selalu mutah, tidak banyak asupan makan yang masuk, mungkin karena maag. Mengalami nyeri seperti kesetrum juga, ada semacam bintik-bintik merah yang samar.
- 11 Februari 2005, siang: Selang semalam keluar dari rumah sakit, tiba-tiba dada ke bawah baal, tidak bisa merasakan panas, lemas tidak bisa berjalan atau berdiri. Saya lumpuh seminggu di Bogor lalu dibawa pulang ke Yogyakarta.
- 18 Februari-12 April 2005: Selama 52 hari dirawat di RS Sarjito Yogyakarta. Beberapa rotgen, cek darah dan laboratorium lainnya, mantu tes (Cek TBC atau tidak), CT Scan, MRI 2 film. Belum juga diketahui jenis virusnya, sehingga terpaksa minta persetujuan dilakukan Lumbal Fungsi (?), pengambilan cairan sumsum belakang. Dengan pengobatan, fisioterapi, dan terapi setrum listrik, kemudian saya diperbolehkan pulang meskipun belum bisa berjalan. Melalukukan Rawat Jalan dan ahli fisioterapi datang ke rumah, saya mulai bisa berjalan dengan bantuan walker. Sekedar menggerakkan jempol saja baru bisa setelah 18 hari di RS. Itu baru jempol kiri. Kemudian berangsur jari-jari kaki yang lain ikut bergerak. Dan selalu perkembangan kaki kanan lebih lambat dibanding kaki kiri. Kata dokter saya terserang virus CMV (Cito Megalo Virus) yang menyerang mylin di syaraf-syaraf tulang belakang.
- 13 Mei-20 Juni 2005: Kondisi saya drop kembali, kembali mutah-mutah, lalu lumpuh kembali. 39 hari saya kembali dirawat di RS Sarjito. Kondisi saya makin parah, karena saya pelo, harus pakai oksigen dan semangat saya mulai turun. Tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, karena seperti putus asa. Saya kembali diambil cairan sumsum tulang belakang (lumbal fungsi). Saya kembali belajar menggerakkan kaki. Bahkan untuk sekedar menggeser atau mengangkat kaki pun tidak kuat.
- Juni 2005: Saya mulai bisa berjalan tertatih dan tiba-tiba mata kiri saya kembali buram dan gelap sama sekali. Seingat saya ini kasus yang kelima kalinya. Saya juga kembali mengalami gejala nyeri atau kesetrum sesaat. Dan parahnya di banyak tempat, juga lebih sering. Jika sedang terjadi serangan, saya benar-benar tersiksa. Sama, seperti gatal dan ingin menggaruk, lalu kesetrum. Sebelumnya saya juga mengalami panas dan ada dua benjolan kecil di leher (kiri) bawah telinga. Berobat ke THT, diberi antibiotik, benjolan mengecil. Baru setelah ada kelainan pada mata kiri dan saya bolak-balik ke dokter mata dan syaraf, saya dicurigai menderita MS. Saya kembali melakukan pemeriksaan mata dengan manual, komputer, pemeriksaan lapang pandang yang kedua kali, dan lain-lain. Oleh Dokter mata dikembalikan ke dokter syaraf dan katanya obatnya pun sama denagn obat dari dokter syaraf. Baru didiagnosa suspect MS karena ada kecacatan di dua tempat dan beberapa ciri yang mengarah ke MS.
- 12 Agustus 2005: berangkat bekerja ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta. Ibu saya ikut menemani saya. Berbulan-bulan saya masih mengalami keluhan mata, padahal saya tetap minum obat, karena sudah diberi resep (Kalmeco, Piracetam, Q-Teen, Clindamycin sempat beberapa minggu) untuk 2 bulan. Sudah hampir 4 bulan saya minum obat untuk mata, mengapa mata benar-benar tidak ada perubahan sama sekali. Apakah virusnya sudah kebal sehingga tidak mempan dengan obat serupa? Saya juga mengalami nyeri/kram/panas di perut kanan atas dan punggung kanan. Di tulang belakang bekas diambil cairan tulang belakang juga kadang terasa nyeri. Mata kanan saya juga seperti tidak setajam dulu. Nah, yang saya takutkan sayabisa mengalami kebutaan permanen. Padahal pekerjaan dan hidup saya sangat tergantung dengan membaca dan menulis.
- 14 Januari-12 Maret 2006: Buta total (serangan kedua). Mata kanan yang masih bisa melihat dengan cepat menurun lalu gelap sama sekali. Sempat dirawat di RS Sardjito Yogyakarta selama sekitar 42 hari. Kembali dilakukan pemeriksaan medis seperti EKG, MRI, lumbal fungsi, dll. Pelan-pelan bisa melihat lagi, tetapi mata kiri tetap tidak bisa diselamatkan. Saat dirawat di RS mengalami herpes zoster yang sangat hebat, tetapi alergi aziclovir (zovirak?). Melempuh berair di sekitar dagu dan leher kanan, bahkan ada yang sebesar telur ayam. Luka bekas herpes zoster meninggalkan jaringan parut (bekas) “mengerikan” sampai sekarang (keloid). Dilakukan MRI, tidak ada lesi. Dilakukan lumbal fungsi (pengambilan cairan tulang belakang). SMS dokter Yudi yang membawa sampel saya ke luar negeri bahwa …..
- September 2012: mata kanan sering memerah dan banyak kotoran. Mata kanan kabur (penglihatan menurun). Sudah dikoreksi dengan kacamata tetap sama saja. Kata dokter mata, minyak yang membentuk cairan air mata tersumbat (getah, minyak, air mata akan bergabung menjadi cairan air mata). Diberi obat posop fluorometholon (kuning), floxa ofloxacin (pink), protagenta polyvinylpryyolidone (hijau), lyteers (sterile eye drops), gel aculenta, kapsul doxycycline 100 mg.
Bersamaan dengan itu muncul juga nyeri, terutama di tangan dan kaki. Diberi obat: gabapentin 100 mg, meloxicam, mecobalamin dan metilprednisolon 16 mg. Akan tetapi, dua minggu kemudian metilprednisolonnya distop karena hasil EEG menunjukkan mata normal dan karena setelah pemberian metilprednisolon tidak ada perubahan/perbaikan. Puncaknya akhir Oktober 2012, sangat nyeri dan tidak bisa jongkok, maupun berdiri dari jongkok atau duduk di bawah. Diberi obat metilprednisolon 60 mg/hari, amitriptilin 2 x sehari, gabapentin 300 mg x 2 per hari, acetram. Nyeri berkurang banyak, tetapi nyeri tidak benar-benar menghilang. Nyeri berpindah-pindah, di pergelangan tangan, jari-jari dan punggung tangan, di lengan atas, siku, punggung kaki, pergelangan kaki, lutut belakang, paha kanan atas. Nyeri di leher kanan. Minum metilprednisolon dari 1 November 2012-Feberuari 2013 (4 bulan).Berhenti belum ada seminggu, rasanya badan seperti digebukin, nyeri di tangan dan kaki. Tangan kiri tidak dapat ditekuk full. 11 Maret 2013 diberi obat nyeri lagi: gabapentin 300 mg x 2, paracetamol 750 mg x 2, tramadol 50 mg. Paracetamol dan tramadol ini untuk menggantikan acetram karena saya mengeluhkan bahwa sudah minum acetram tetapi tetap nyeri. Adapun acetram kombinasi tramadol HCL 37,5 mg dan paracetamol 325 mg. Berarti dosis obat yang saya minum sekarang lebih tinggi dari sebelumnya. Nyeri berkurang, tetapi pertama minum obat ini lemes dan kliyengan. Dokter awalnya akan merujuk ke poli penyakit dalam, apakah nyerinya sudah sampai ke otot, apakah nyerinya karena alergi imonologi. Akan tetapi, diurungkan/ditunda. Dicoba dengan obat anti nyeri itu dulu, seminggu kemudian (18 Maret 2013) kontrol dan akan dievaluasi sebab nyerinya kenapa dan terapinya bagaimana. Pada serangan ketiga ini dilakukan juga MRI cervical, tetapi lagi-lagi sebagaimana dua mRI sebelumnya tidak ditemukan white spot.
- Selama September 2012-Maret 2013 saya berobat di RSCM (Askes) dengan dokter yang berganti-ganti, karena di RSCM ada sistem pergantian dokter setiap bulan (Andini, Hendri, Hadio, Vivi, dll). Dokter Vivi pernah mengatakan bahwa saya Devic Disease karena 1) responsif terhadap metilprednisolon, sedangkan MS tidak, 2) lebih banyak menyerang ke mata, 3) tidak ada white spot di MRI, 4) kondisi saya bisa kembali ke titik normal, sedangkan pada MS biasanya grafiknya tidak bisa kembali di titik normal, meskipun pulih tetapi berada di bawah kurva normal sebelum serangan. Kira-kira demikian yang saya tangkap/pahami.
Berikut daftar pertanyaan yang sering diajukan langsung ke beberapa dokter yang dirujuk ketika berkunjung sebelum didiagnosa penyakit Devic Desease pada bulan Juni 2013.
1)Apa beda penanganan MS dan Devic? Saya MS atau Devic?
2)Inginnya diobati akar permasalahannya, bukan hanya diobati nyerinya. Adakah obat lain selain metilprednisolon? Nyerinya sangat menganggu, karena terus-terusan dan setiap saat dengan intensitas yang berbeda-beda. Membuka tutup botol, baju, pintu pun kadang harus kesakitan. Jalan jadi diseret dan kaku. Kekuatan kaki juga berkurang, naik tangga atau angkot harus dibantu tangan. Nyeri yang terus-terusan dan makin menyebar di banyak tempat ini tidak pelak kadang menyebabkan depresi.
3)Terapi plasmapheresis?
4)Saran terapi alternatif, misal akupuntur atau apa, bermanfaatkah?
5)Saya juga mengalami konstipasi semenjak kena serangan MS. Meskipun sudah minum pencahar, tetap susah. Seperti tidak ada dorongan/kontraksi ingin ke belakang.
6)Bagaimana agar kemampuan mata tidak semakin menurun? Masih sangat sering merasa seperti ganjel, kotoran berlebih dan gampang merah. Ketajaman atau jarak pandangnya pun berbeda dengan teman yang normal, meskipun sama-sama pakai kacamata.
Ada beberapa tambahan yaitu:
- Februari 2013, untuk mendapatkan Opion Kedua maka konsultasi ke RS Eka Hospital BSD dan RS Siloam Karawaci. Namun penangananya hampir sama seperti di RS selama konsultasi sebelumnya.
- 1 April 2013, malam hari terjadi serangan hebat sehingga harus dilarikan ke IGD RSCM diberikan metil pretnisolon dosis tinggi 200 sehingga rasa nyeri bisa berkurang. Ini terjadi karena hampir seminggu tidak mau mengkonsumsi metil pretnisolon. Dirawat selama 5 hari, rawat inap kemudian pulang dalam kondisi masih belum pulih dan disarankan rawat jalan dengan menurunkan dosis metil pretnisolon secara bertahap dan dilakukan beberapa test untuk diuji di neurofisiologi, radiologi dan pengambilan sumsum tulang belakang .
- 1 Mei 2013 dilakukan pendiagnosa sumsum tulang belakang sehingga perlu dirawat di RS selama 3 hari. Setelah dikonsultasikan hasil dari diagnosa, dipastikan bukan Multiple scherosis tapi Devic Desease yang memiliki gejala yang sama. Masih perlu rawat jalan untuk menurunkan metil pretnisolon. Berikut sebagian hasil lab. yang telah dijalankan.
Karena mengkonsumsi obat metil pretnisolon lebih dari 6 bulan secara berkelanjutan sehingga wajah jadi buat, tubuh membengkak, kesulitan berdiri dari jongkok. Lamanya penurunan dosis secara berlahan dan adanya efek buruk jangka panjang obat membuat seacara psikologis kondisinya makin memburuk sehingga pada bulan Juli 2013 istri bersikeras untuk tidak mengkonsumsi obat tersebut. Dia bersikeras bisa hidup tanpa obat seperti halnya pernah dilakukan ketika di badai tahun 2007. Untuk memberikan semangat dalam badai ini, saya menuliskan enam tulisan di Kompasiana yang saya tujukan khusus untuknya sehingga dia baca selama kita pisah sementara, saya di Depok dan dia beserta anak di Solo karena adanya acara keluarga selama kurang lebih dua bulan. Saat kembali ke Jakarta, kondisinya sudah lumayan baik namun dia masih belum bisa naik ke tangga badan pesawat sehingga perlu dibopong.
- Agustus 2013, masih nyeri ringan dan tetap bertahan tidak mau minum obat metil prednisolon. Mulai terserang maag, diare dan mual yang menjadikan dilema ketika makan. Makanan padat sering tidak bisa masuk dan dimuntahkan. Hanya buah dan minuman energi yang bisa diasup. Untuk menghindari hal buruk, maka dipaksakan makan hanya beberapa suap makanan padat setiap harinya. Kondisi badan makin susut karena kurangnya asupan.
- Akhir September 2013, Kondisi makin buruk sehingga harus masuk ICU RS di PKU Muhammadiah Jogja selama tiga hari. Karena terlihat membaik kondisinya dialihkan ke rawat inap. Namun di hari ke 3 setelah keluar dari ICU, kondisi memburuk dan akhirnya tak terselamatkan dengan menghembuskan nafas terkahir pada 5 Oktober 2013.
Ada banyak catatan dan pelajaran yang kami petik dari sini yaitu untuk ikhlas, sabar dan tetap semangat menjalani esok terutama bagi Kiana. Selamat jalan Bune.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H