Meski segala amunisi telah dikeluarkan oleh kabinet kerja selama rentang dua tahunan ini dengan terus menembakkan berbagai peluru-pelurunya untuk menciptakan stabilitas dan perbaikan perekonomian. Diantaranya, nampak terlihat dari agresivitas lewat aneka resep paket kebijikan ekonomi belasan jilid, tepatnya sudah dirilis 14 paket dan dipastikan akan terus berlanjut.
Realitanya, paket itu bukannya menjadi stimulus bagai multivitamin malahan tampak tak efektif alias sepintas bak kelebihan dosis. Setidaknya memang patut diparesiasi atas berbagai niat baik pemerintah untuk mewujudkan pintu perubahan lewat visi Republik Indonesia (RI) berdaulat lewat Nawa Cita. Hanya saja perlu dilakukan evaluasi maupun perbaikan komprefensif agar paket selanjutnya lebih efektif pelaksanaanya, terutama di daerah agar tak tumpul implementasinya.
Ada beberapa hal memang bila diidentifikasi yang menjadi penyebabnya. Namun tak perlu dibahas lebih runtut, bila sedikit menyinggung, salah satunya penyebabnya ialah kurangnya kefokusan dan sinkronisasi ketika implementasi di daerah.
Kekurangfokusan ini bisa kita cermati lewat masing-masing paket yang dirilis. Setiap paket yang muncul bahkan beberapa kali disinggung lagi ke paket lanjutan yang dirilis. Sementara itu, di sisi lainnya ialah kurangnya sinkronisasi pelaksanaan didaerah. Artinya, paket yang dikeluarkan mengalami banyak kendala teknis di daerah, seperti sulitnya implementasi, hambatan peraturan daerah setempat, dan sebagainya.
Seperti diketahui, kabinet kerja hingga kini memang gencar membangun infrastruktur. Tak pelak, peran investasi sangat diperlukan untuk pembangunan aneka program infrastruktur yang dicanangkan, apalagi anggaran negara juga sedang terbatas. Bahkan, kredibilitas negara pun pada akhirnya di lego dengan program pengampunan pajak (tax amnesty).
Pada era perlambatan ekonomi kini, sebaiknya jangan terlalu sering berbicara efisiensi. Akan tetapi lebih baik momentumnya ke arah efektivitas. Kenapa? karena aspek membangun infrastruktur, terlebih infratruktur strategis, maka pola pikirnya harus berorientasi pada efektivitas. Belanja tak masalah asalkan efektif, sementara efisiensi bisa dialihkan ke peningkatan porsi swasta atau lainnya. Sehingga imbasnya ke daerah bisa lebih baik dari segi kemanfaatannya kedepan.
Apabila pemerintah daerah dipaksa berpikir efisien, maka sering kurang siap dan rentan terbebani. Alhasil, akan sulit kiranya membangun infrastrukturnya dan tak heran bila sering ada temuan berulang terkait fenomena uang pemerintah daerah yang mengendap di bank.
Banyaknya proyek yang telah selesai bila tak barengi dengan tenaga kerja yang berkualitas juga seolah terasa percuma. Padahal, pada dasarnya hakekat pembangunan ekonomi ada beberapa faktor esensial, yakni pendidikan atau sumber daya manusia, kesehatan, dan pendapatan.Â
Selain itu, sumber daya manusia atau tenaga kerja disebutkan masuk menjadi bagian dalam faktor produksi, yang beberapa faktor produksi lainnya, seperti modal, sumber daya alam, dan kewirausahaan serta sumber daya informasi. Sehingga sumber daya manusia yang unggul, niscaya akan membuat suatu kinerja memiliki produktivitas yang tinggi.
Daya Saing dan Efisiensi Tenaga Kerja
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia trennya tengah menurun. Laporan terkini World Economic Forum (WEF) 2016 menyebutkan bahwa peringkat daya saing Indonesia melorot empat level menjadi berperingkat 41 ketimbang tahun 2015 yang berperingkat 37. Ironisnya lagi, skornya ternyata tak beranjak membaik dari tahun 2015 hingga tahun 2016. Melainkan stagnan tak berubah sedikit pun, yakni skornya tetap sebesar 4,52.