Setiap tanggal 22 April, seluruh dunia memperingatinya sebagai Hari Bumi secara internasional. Melalui peringatan Hari Bumi ini, manusia di seluruh dunia diajak untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap bumi sebagai lingkungan tempat hidup manusia.
Gagasan awal mengenai Hari Bumi ini dicanangkan pada sekitar tahun 1960-an, dimana orang-orang mulai sadar akan dampak dari kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di bumi.
Perlu kita sadari bahwa manusia sejatinya memang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya, baik biotik maupun non-biotik. Manusia memerlukan udara, sinar matahari, air, dan berbagai macam sumber-sumber yang berasal dari lingkungan untuk bertahan hidup.
Air merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun, sayangnya semakin hari manusia semakin kehilangan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Kebutuhan dan perubahan gaya hidup, serta perilaku konsumsi akibat kemajuan globalisasi seringkali memberikan dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan.
Salah satu sumber air di Kalimantan Tengah berasal dari Sungai Kahayan. Sejak jaman dahulu, sungai Kahayan digunakan dalam berbagai keperluan hidup masyarakat, seperti kebutuhan sehari-hari (memasak, mencuci, dan mandi). Tak hanya itu, sungai ini juga dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air, perindustrian, dan sebagainya.
Semakin hari, kondisi sungai Kahayan semakin memburuk. Banyaknya aktivitas-aktivitas seperti penambangan emas yang mencemari sungai Kahayan ini.
Pulau Kalimantan sendiri disebut sebagai “Pulau Seribu Sungai”, dimana sebagian besar masyarakatnya tinggal di tepian atau daerah sekitar sungai guna memudahkan untuk akses ke sumber air tersebut.
Namun, dikarenakan dampak kemajuan industri dan perekonomian yang ada, Salah satu sungai yang terkena dampak ini adalah sungai Kahayan. Pada tahun 1970, air sungai Kahayan termasuk ke dalam kategori layak konsumsi sehingga kebutuhan air minum warga sekitar saat itu hampir 100% berasal dari sungai Kahayan ini.
Namun, memasuki tahun 2011 kebutuhan masyarakat akan air sungai ini tidak lagi sebesar dahulu dan mengalami penurunan menjadi 40% saja.
Pencemaran yang terjadi di Sungai Kahayan ini disebabkan oleh aktivitas penambangan emas yang dilakukan secara illegal. Aktivitas ini dikenal sebagai kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Kegiatan PETI ini yang mengakibatkan air sungai Kahayan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Penambangan tanpa izin ini mencemari air sungai Kahayan dengan merubah warna, rasa, tingkat kejernihan, serta derajat keasaman atau pH sungai.
Sesungguhnya, sungai memiliki kemampuan untuk pemurnian atau purifikasi sendiri (self purification) dengan bantuan mikrobia yang ada di dalamnya.