"Setelah terima gaji, saya langsung kirim 700 ringgit (kira-kira 2 Juta Rupiah) ke kampung. 300 habis untuk hidup saya sebulan!"
Beberapa bulan terakhir ini saya mencoba memahami pola hidup teman-teman pekerja migran di Malaysia. Dalam bebeberapa bulan yang intensif ini jugasayamenemukan persamaan karakter dan kebiasaan hidup antara pekerja migran asal Indonesia, Bangladesh dan Myanmar (tiga dari sekian banyak negara asal pekerja migran di Malaysia).
Karakter TKI di Malaysia
Berdasarkan pengamatan dan hasil tanya jawab sederhana yang saya lakukan setiap kali bertemu dengan teman-teman pekerja Indonesia ini adalah mereka merupakan manusia-manusia yang sangat haus akan sebuah perubahan dalam hidup mereka, itulah mengapa mereka rela meninggalkan tanah air mereka untuk mencari penghasilan yang lebih baik di negara orang (Kebetulan ketiga negara ini sama-sama belum bisa memberikan kesempatan pekerjaan dikarenakan berbagai alasan).
Kedua, banyak dari mereka mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap keluarga mereka, baik ke orang tua ataupun saudara saudari mereka. Hal ini dapat dilihat dengan pola hidup mereka yang sering memprioritaskan keluarga di tanah air dibanding kondisi kerja dan hidup mereka di Malaysia. Banyak pekerja Indonesia bahkan memilih untuk mengirim sebagian besar uang gaji mereka ke tanah air dan hidup sangat sederhana di Malaysia.
Karakter ketiga adalah, banyak dari pekerja kita di Malaysia mempunyai attitude atau sikap yang baik, baik terhadap orang lain (bersosial) dan juga attitude terhadap belajar. Artikel saya sebelumnnya yang berjudul "Tidak ada kata terlambat untuk belajar, bahkan untuk TKI" menunjukan sikap yang positif terhadap pembelajaran diantara mereka. Bahkan ada juga dari mereka memilih lanjut untuk kuliah S1 di Universitas Terbuka (UT), seperti yang di beritakan kawan saya di artikel berjudul "TKI: Menggali Harapan Bersama Universitas Terbuka".
Pahlawan Devisa Yang Tidak Punya Tabungan
Ironisnya, dikarenakan keluguan, ketidaktahuan ataupun tidak adanya kerabat yang mengingatkan, karakter-karakter diatas dapat menjelma menjadi penghalang bagi POLA HIDUP MENABUNG pekerja-pekerja kita
Sebagai contohnya, mengirim uang tiap bulannya yang sudah menjadi tanggung jawab moral terkadang menjadi masalah tersediri, Menjadi masalah jika pekerja-pekerja kita mengirim uang secara berlebihan untuk keperluan keluarga yang sesungguhnya tidak urgent. (Sebagai contoh: membelikan adik hp baru agar ikut perkembangan zaman). Alhasil uang yang sangat mungkin untuk di tabung bagi masa depan kini menguap untuk perubahan jangka pendek.
Bagi banyak pekerja kita, situasi diatas adalah normal. Tidak ada yang salah. Normal karena hal diatas nyata membawa perubahan hidup, merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan menunjukan sikap yang baik. Tapi menariknya, banyak pekerja kita juga paham bahwa hal diatas tidak tepat setelah diberikan cara pandang sederhana yang berbeda.
Mas Kok TKI Disuruh Nabung?
"Nah, nanti kalau kontrak habis macam mana? Balik kampung? Terus? Ada uang? Keluarga juga tidak tahu menabung, tidak ada cadangan uang, tidak ada tabungan dalam bentuk tanah atau macam-macam karena semua habis buat hal tersier. Terus gimana? Balik lagi Malaysia? Ngulang lagi dari awal? Hal yang sama, balik kampung, sama lagi..terus..menjadi TKI lagi? Menjadi TKI seharusnya bukan menjadi sebuah hal yang abadi!"
Banyak teman-teman sangat cepat menangkap pemahaman diatas. Banyak juga yang setuju dengan cara pandang diatas. Saat pemahaman diatas sudah dipahami, ide untuk menabung menjadi sangat mudah diterima.