[caption caption="Sesudah dan sebelum - Dok Felix Kusmanto"][/caption]Hari ketiga (Kamis, 28/1/2016) dari Datsun Risers Expedition etape 3 banyak dihabiskan di jalan nasional Kalimantan. Dari kota Ngabang tempat kami bermalam, kami berkendara kurang lebih 3 jam dan menempuh jarak sekitar 150 KM ke tapal batas Indonesia-Malaysia di Entikong. Sepanjang perjalanan ini pemandangannya tidak terlalu berbeda dengan rute hari ke dua dengan pemandangan hijau mendominasi, bedanya rute kali ini lebih banyak tanjakan dan turunan, tidak seperti rute hari kedua yang cenderung datar.Â
Mendekati daerah perbatasan saya semakin sering melihat lalu lalang bus persiaran (panggilan untuk bus pariwisata dalam bahasa Malaysia) dari arah Entikong. Selain itu saya juga semakin sering melihat mobil-mobil Proton dan perodua buatan Malaysia yang parkir di rumah-rumah dan bengkel warga. Mobilnya sebagian besar sudah tua, catnya kusam, karatan dan beberapa bagiannya jelas sudah "dikanibal". Kebanyakan mobilnya adalah mobil keluaran tahun 90an - Proton Saga dan Waja tua. Semakin tak sabar saya untuk melihat perbatasan.
[caption caption="Pak Minggu di Entikong - Dok Felix Kusmanto"]
Kehadiran kami kemudian disambut oleh polisi setempat dan kepala dusun setempat yang sudah dikoordinasi oleh pihak Datsun dan Kompasiana untuk kegiatan Datsun Risers Expedition etape 3.
[caption caption="Balai Kedatangan Entkong - Dok Felix Kusmanto"]
Situasi ini sangat diapresiasi warga sekitar yang sudah terlalu sering melihat banyak pihak yang sudah melakukan studi banding namun tidak pernah melakukan kegiatan pembangunan yang benar-benar nyata. Dengan antusias Pak Minggu menjelaskan masa depan Entikong.
"Nanti kota ini bakal lebih maju dan hebat dibandingkan border malaysia. Besar nanti"
Pak Minggu memandu kami dari wilayah Indonesia - wilayah netral, wilayah yang dianggap milik PBB - hingga wilayah Malaysia. Kehadiran kami sudah diketahui pihak polisi Malaysia. Yang sedang bersiaga di pos mereka. Mereka memandang kami bak pelancong. Foto-foto di papan petunjuk jalan. Dapat dilihat dari muka mereka, mereka bingung mengapa kami suka sekali berselfie. Kami sekali lagi menjadi daya tarik para pelintas perbatasan, tak jarang dari pengemudi yang membuka kaca untuk melihat kami.Â
Sekembalinya ke wilayah Indonesia, Pak Minggu bercerita bahwa 75% yang lalu lalang di Indonesia adalah tenaga kerja, tenaga kerja kasar tepatnya. Menurutnya banyak warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia untuk mengubah hidup mereka. Setiap beberapa lama mereka kembali membawa uang dan kembali lagi kesana untuk bekerja.Â
Saat ditanya apakah kehidupan di Malaysia lebih bagus, Pak Minggu tersenyum dan menjawab "Ya, Malaysia lebih rapi." Saya bertanya kepada pak Minggu apakah benar bahwa pendidikan di Malaysia juga terbuka untuk orang Indonesia seperti diberita-berita. Pak Minggu tidak sependapat. "Tidak boleh, orang Indonesia kan bekerja saja, tidak boleh menyekolahkan anaknya disana, banyak dari orang tua yang bekerja disana tetap mengirim anaknya untuk bersekolah di wilayah Indonesia".Â
Jarak kota terdekat Malaysia hanya berjarak 1 jam dari perbatasan, sedangkan kota terdekat di wilayah Indonesia cukup jauh, yaitu 4 jam. Tak heran banyak kegiatan dilakukan di wilayah Malaysia.Â