Pengemis duduk dekat istana. Banyak wajah terlihat lugu dan tulus seakan-akan melayani. Tapi hati bengis. Hanya melukai
"Istana terisi manusia-manusia jahanam, lebih rakus dari wanita penghibur, hanya berisik, buat resah rakyat", cerita kakek kala itu.Â
Pengemis itu masih duduk dekat istana. Terdengar bunyi piring. Senduk bersahutan. Berharap ada yang memedulinya. Juga memberinya makan enak. Seperti pejabat pejabat menaruh pantatnya di kursi sambil makan enak dari uang rakyat.Â
"Aku setahun tak makan, hanya bisa makan hati, menelan emosi, meminum janji-janji brengsek dari mulut pendusta, katanya setelah terpilih ingin memberi makan dan peluang kesejahteraan bagi kami tak berpenghasilan, tapi di istana pesta pora tetap terjadi setiap saat. Siapa menipu siapa, tuan presiden?"
Tubuh pengemis makin kurus. Termakan penyesalan. Pintu istana tak terbuka. Hanya kotoran dan angin jahat mendesir kencang membawa keresahan.Â
Bangkai-bangkai mayat dipungut pengemis. Menaruh depan istana bikin resah janji-janji palsu. Wajah-wajah makin lesuh juga lusuh.Â
"Liang lahat saja tak diurus, sungguh becus istana bersama orang-orangnya, pesta pora di atas air mata rakyat yang susah cari makan tak pernah didengarkannya", kata pengemis sambil memakan tubuhnya.Â
"Buru-buru adain sekolah unggulan versus burung garuda, nyatanya guru-guru dan dosen dan honorer menjerit parah, darahnya diminum iblis hingga mati kelaparan", dengus kakek. *
Lentera, 19 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI