Sayang, pulang menjadi rindu terberat, rindu menanam canda tawa, olok-olokkan sampai tangis pecah sebagai luka, sebagai kenangan terindah.
Dulu, awal saling kenal, kita menyusuri pematang sawah, mengejar kupu-kupu sebagai cara bertemu melepas kangen.
Kupu-kupu banyak warna mengitari persawahan hijau nan sejuk, kita mengejar hingga menginjak padi-padi yang sudah tumbuh ditanam petani tak kita hiraukan.
"Tapi, setelah dewasa, kita menjadi ruang gelap yang ditutupi debu, entah siapa yang mengajarinya?"
Tiap kali ketemu di jalanan, diam sebagai alasan tuk tak lagi bertegur sapa, seakan akan  kita merubah arah hidup menjadi parasit.
"Tubuh kita makin segar disuapin vitamin, tapi perilaku dan cara menanam nilai-nilai kebaikan ke sesama terkikis, alam pun kita gigit karena amarah yang belum terobati"
Perih memang, tetesan amarah tumbuh dalam daging yang sejatinya adalah rumah-Nya, masih menjadi kotor.
"Sayang, pulang menjadi rindu terberat bila saling menerima, melepas penat ke pelukan hangat, teringat sewaktu kecil dulu kita diajari memakai jaket supaya tak dingin".
Masih ingatkah ucapan kita saat mengejar kupu-kupu di pematang sawah?
"Kita mesti saling cinta, tumbuh dalam rindu, hidup dalam pelukan, kasih menjadi amin dalam doa tuk pulang". (*)Â