Mohon tunggu...
Mas Haidar
Mas Haidar Mohon Tunggu... Lainnya - pemimpi layaknya Bung Karno

bukan buzzer, mung seneng komen.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembubaran FPI dan Label Otoritarian Rezim Jokowi

2 Januari 2021   19:16 Diperbarui: 2 Januari 2021   19:24 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: Kemenko Polhukam) keterangan: Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan pembubaran FPI

Coba perhatikan bagaimana FPI yang dengan ratusan ribu anggotanya dan klaim jutaan simpatisan, berhasil merubah pandangan umat terhadap Ahok, sapaan Gubernur DKI hingga menyebabkan kekalahan dari rival politiknya, Pak Anies Baswedan dalam perhelatan Pilkada DKI 2017 silam. Dengan hembusan isu dan sentimen agama, mereka berhasil meyakinkan umat bahwa Ahok tidak lain dan bukan adalah musuh Islam, sehingga tidak pantas memimpin mereka, juga mereka yang bersamanya atau mendukungnya tak lepas dari anggapan tersebut, sehingga semakain terlihat pada akhirnya FPI memposisikan diri sebagai ormas yang beropisisi terhadap Pemerintah yang bertentangan dengan apa yang menjadi kepentingan dan kemauan mereka.

Dari sepak terjangnya, penulis berkeyakinan bahwa dihadapkan dengan penolakan apapun, selama apa yang menjadi visi mereka bisa tercapai, selama itu pula mereka tetap teguh pada cara-caranya nan kontroversial.

Ormas dalam Jaminan Konstitusi 

Tepat sehari yang lalu, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Hukum dan HAM, Informasi dan Komunikasi, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akhirnya resmi membubarkan dan melarang semua kegiatan dan atribut yang mengatasnamakan FPI, baik di tingkat pusat hingga ke daerah. Tak ayal pengumuman tersebut langsung beredar di masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik, penuh pro dan kontra. Lalu bagaimana sebenarnya prihal ormas dalam kerangka konstitusi dan mekanisme dalam pembekuan dan pembubaranya ?

Ormas sendiri adalah satu dari banyak instrumen yang mencirikan sehatnya sebuah demokrasi suatu negara. Di Indonesia, ormas merupakan buah amanat UUD 1945 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengutarakan pendapat di muka umum, dan sebagai landasan penerapannya dibuatkanlah aturan turunan yang mengatur dan mengakomodir prihal ke-ormasan, yaitu UU No 8 tahun 1985. Namun Orba dengan segala siasatnya, justru membuat UU ini sebagai alat kontrol dan pengawasan terhadap perilaku masyarakat dengan menetapkan pengunaan Panca Sila sebagai asas tunggal.

Menuai kontra dari banyak kalangan, Orba seolah tak bergeming, alasan mereka jelas, ormas adalah elemen untuk mewujudkan persatuan dan kemajuan nasional, oleh karenanya ia harus berasaskan Panca Sila sebagai nilai murni bangsa Indonesia. Dengan peraturan yang demikian, pada kenyataanya ormas pada masa itu hanya hitam di atas putih yang harus tunduk pada tafsir Panca Sila sepihak Rezim Orba dan bila disinyalir melanggarnya bisa dibubarkan tanpa proses hukum yang jelas. Berkumpul dan bersertikat yang seharusnya menjadi hak bebas masyarakat pada akhirnya sirna.

Pasca kejatuhan Rezim Orba dan dimulainya fase reformasi bangsa ini, pola pemerintahan berangsur berubah dari yang semula otoriter-represif, menjadi demokratis-responsif. Berimbas dengan perubahan semua aturan yang dianggap tinggalan Orba agar lebih komperhensif dalam menerima masukan dan aspirasi masyarakat. Termasuk dalam ke-ormasan, Pemerintah mencoba membuka peluang ketebukaan dan pengejawantahan amanat UUD 1945 agar lebih demokratis dan responsif. Terbukti dengan direvisinya UU No 8 Tahun 1985, menjadi UU No 17 Tahun 2013. Meski direvisi UU ini pun masih menemukan kelemahan sehingga beberapa kali dilakukan pengujian melalui Mahkamah Konstitusi (The Guardian of Constitution).

Inti dari revisi ini adalah upaya demokratis Pemerintah pasca reformasi agar kontrol terhadap ormas melalui mekanisme hukum yang sah secara konstitusi (due proces of law) dan berusaha semaksimal mungkin tidak menutup ruang bebas hak kebebasan berkumpul dan berserikat, salah satunya menyatakan bahwa apabila dalam pelaksanaanya ormas melakukan tindakan-tindakan yang melanggar UU Ormas, maka mekanismenya lebih persuasif dan jika sampai pada taraf pembekuaan dan pembubaran maka satu-satunya yang berhak menetapkan adalah kekuasaan yudikatif dengan memberikan kesempatan pihak terkait untuk hadir, menyatakan pendapat dan bersaksi di muka peradilan umum. Inilah poin penting yang membedakan antara pemerintahan sebelum dan sesudah reformasi, dari yang sentralis pada eksekutif, kemudian dibagi wewenangnya secara konstitusi dan riil pada yudikatif.

Lain cerita dengan UU No 17 Tahun 2013, rupanya permasalahan tentang ormas masih berlanjut. Fakta yang tidak bisa dinafikan adalah pasca reformasi, masyarakat seolah memiliki trauma berkepanjangan mengenai pola otoritarian Orba. Hal ini tidaklah salah menginggat 3 dekade, bangsa ini digenggam dan diperalat oleh Orba yang berlindung dibalik kata Panca Sila. Akhirnya Panca Sila yang semula terpatri tak tergoyahkan sebagai filosofische grondslag, turun drajat menjadi hitam di atas putih belaka dalam pelaksanaan konstitusi dan kehidupan bernegara. Imbasnya selama kurun waktu 2 dekade terakhir, bangsa ini dibanjiri banyak sekali ideologi, seolah mereka bertarung untuk memenangkan hati masyarakat republik ini.

Inilah yang kemudian menjadi landasan sosiologis Pemerintah kembali melakukan revisi terhadap UU Ormas No 17 Tahun 2013, bahkan pada kesempatan ini tak tanggung-tanggung, Pemerintah mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 sebagai upaya dalam merevisi UU Ormas No 17 Tahun 2013. Kasus yang ditemukan adalah adanya ormas (HTI) yang dengan sengaja ingin merubah dasar negara.

Ketika pada akhirnya kasusnya mencuat ke permukaan, Pemerintah merasa kesulitan dalam menanganginya, -menginggat sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki banyak simpatisan untuk mengubah dasar negara adalah tindakan yang membahayan persatuan dan kedaulatan NKRI- jika berpatokan pada UU Ormas edisi 2013, maka pembekuan dan pembubarannya akan memakan waktu yang sangat lama, terlebih HTI yang berbadan hukum dan adanya potensi untuk selalu naik banding hingga ke Mahkamah Agung. Pemerintah berdalih bahwa tidak ada yang bisa menjamin apakah selama masa peradilan berlangsung, stabilitas dan kedaulatan nasional akan baik-baik saja, hingga akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 (yang kemudian disahkan menjaid UU No 16 Tahun 2017), yang dalam hal ini sudah sesuai dengan persyaratan pengeluaran perppu yaitu dalam kondisi darurat sesuai tafsir MK (The Final Interpreter of Constitution).

Inti dari perppu ini adalah bagaimana Pemerintah kembali menegaskan posisi mutlak Panca Sila sebagai dasar negara, menyatakan secara implisit posisinya bagi setiap ormas di wilayah NKRI dan menyederhakan proses hukum bagi ormas yang melangggar ketentuan UU Ormas dengan mengembalikan keputusan pembekuan dan pembubaran ormas terkait melalui menteri atau pejabat yang mengeluarkan izin berbadan hukum atau surat keterangan terdaftar, namun tetap memberi ruang pada ormas terkait untuk melayangkan keberatan dengan menggugat ke muka peradilan tata usaha negara. Tentunya semua ini adalah buah tafsir Pemerintah selaku pemegang kuasa dalam menjamin kondusifitas dan stabilitas nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun