Mohon tunggu...
Mas Haidar
Mas Haidar Mohon Tunggu... Lainnya - pemimpi layaknya Bung Karno

bukan buzzer, mung seneng komen.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berdusta Atas Nama Panca Sila

1 Oktober 2020   22:00 Diperbarui: 4 April 2021   15:46 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menanti Secercah Harapan Yang Mustahil 

Sebagai warga negara Indonesia, sikap kita tentu mengutuk para pelaku pembunuhan pada G-30-S. Namun masalahnya jika mereka yang kita kutuk justru bukanlah pelaku atau minimal bukan bagian dari pelaku G-30-S. Kesalahan militer (AD) waktu itu dan orde baru adalah mereka menyembunyikan fakta-fakta yang harusnya mereka beberkan pada khalayak saat itu juga. Demi menuruti hasrat kekuasan mereka, gegabah dan terburu-buru akhirnya membawa kehancuran dan cilaka.

Diawali dengan laporan pada Cornell Paper 1987 tentang Indonesia yang dibuat oleh Ben Anderson seorang Indonesianis yang menyatakan bahwa G-30-S adalah murni konflik intern AD, kemudian disusul dengan ratusan bahkan ribuan data, fakta, dan kesaksian lainnya pasca reformasi, terlebih setelah banyak dokumen rahasia dideklasifikasikan oleh Pemerintah Amerika, Jepang, Inggris, Tiongkok, Jerman, Rusia dan Cekoslovakia, semakin mengisi rentetan missing link tragedi berdarah G-30-S. Yang dirasa paling runtut, jelas dan netral menjelaskan apa yang sebernya terjadi adalah buku karangan Prof Jhon Rossa, bukunya dalam bahasa Indonesia : Dalih Pembuhuhan Massal. Bukunya sempat dilarang dan dibekukan oleh Kejaksaan Agung pada 2009, namun pada 2010 MK memutuskan bahwa pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pelarangan buku Jhon Rossa batal. Selain itu masih banyak lagi baik berupa buku, skripsi, desertasi, tesis, dan karya ilmiah lainnya yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada G-30-S.

Namun poin terpenting dan patut digaris bawahi oleh semua masyarat dewasa ini adalah fakta bahwa G-30-S pada akhirnya menjadi legitimasi bagi penangkapan, pengasingan, pemenjaraan, penyiksaan dan pembantaian lebih dari 1 juta orang tanpa diadili dimuka peradilan yang sah. Dalam posisi ini saya pribadi tidak menjadikan PKI sebagai korban, tapi lebih memberikan waktu dan tempat bagi mereka yang dianggap PKI oleh orde baru dan stigma yang terus berlanjut hingga kini untuk bersuara dan memperoleh hak-haknya yang telah dirampas. Disatu sisi saya mengutuk keras terhadap pelaku pembunuhan para jendral AD, perwira AD dan polisi, namun di sisi lain saya pun sebagai manusia tetap tidak bisa membiarkan dan memberikan legalitas serta pembenaran pada apa yang dilakukan militer (AD), Mayjen Soeharto (Pangkopkamtib dan Presiden) dan para pelaku lainnya terhadap anggota, simpatisan, dan keluarga PKI, terlebih pada mereka yang di PKI-kan.

Sepanjang saya membaca berbagai informasi, saya berkesimpulan bahwa otak daripada apa yang disebut G-30-S adalah samar, penuh ketidakjelasan dan berkabut hitam, namun otak dan pelaku penengkapan, pengasingan, penyiksaan, pemenjaraan, penghapusan hak-hak asasi dan pembantaian pada sejutaan anggota, simpatisan, dan keluarga PKI, terlebih pada mereka yang di PKI-kan jelas, terang benderang dan tidak dapat disangsikan.

Pasca kejatuahn rezim orde baru, pemerintah masuk dalam fase yang lebih terbuka dan menerima kritik dari masyarakat secara luas. Hal itu juga yang memaksa Soeharto dan kroninya diseret ke meja hijau. Namun sayang, sebanyak informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan, Pak Soeharto dan kroninya lebih banyak dituntut di muka peradilan atas kasus-kasus yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme, sedangkan untuk kasus-kasus HAM jarang sekali diadili. Padahal jika berkaca pada data dan fakta yang ada, menurut komnas HAM dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pak Soeharto, baik sebagai Pangkopkamtib maupun Presiden. Termasuk didalamnya ada kasus kekerasan 1965-1966 tentang penculikan, penangkapan, pengasingan, dan pembantaian massal anggota, simpatisan dan keluarga PKI serta mereka yang di PKI-kan.

Gus Dur-lah yang kemudian pertama kali mewakili negara (saat menjabat Presiden RI ) menyatakan permohonan maaf pada para korban kekerasan 65 (meski akhirnya hal itu kembali diperdebatakn bahkan terkesan dieliminasi oleh NU sendiri), namun setidaknya membawa angin segar bagi keadilan dan pengembalian hak-hak yang terlanjur dirampas. Upaya rekonsiliasi pun terus digalakkan oleh berbagai pihak demi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai hak-hak asasi.

Namun setiap upaya-upaya rekonsiliasi muncul, pun ketika negara mendukung, suara-suara sumbang tetap terdengar. Labelisasi, pembengkokan sejarah dan propaganda terhadap PKI kala itu yang membuatnya menjadi musuh bersama telah menumbuhkan stigma yang luar biasa kuat, akibatnya siapa saja yang pada pemikirannya melawan arus, maka bisa dipastikan ia masuk dalam golongan PKI, minimalnya berpaham komunis atau setidaknya ia progresif. Mereka yang menolak rekonsiliasi biasanya berkaca pada kejahatan PKI di masa-masa sebelumnya, seperti pembrontakan PKI 48, Lekra (lembaga kebudayaan rakyat) yang mementaskan drama yang menghina tuhan, kasus Kanigoro, kasus Gontor dan mungkin kasus-kasus lainnya yang membuat ingatan mereka akan kekejaman PKI tak akan pernah terhapus. Selain akibat tersebut, ada lagi akibat lain yang ditimbulkan yaitu adanya labelisasi bagi mereka yang berusaha meng-counter narasi pemerintah (32 tahun orde baru) tentang kebiadaban PKI dan keberhasilan rakyat bersama militer (AD) menumpasnya, justru dianggap bagian dari PKI, antek komunis atau bahkan buzzer antek aseng.

Setelah Gus Dur, sebetulnya pada November 2015, mereka yang menamai dirinya sebagai Tribunal Rakyat Internasional, bertempat di Den Haag, Belanda mengadakan peradilan untuk mengakhiri impunitas kasus kejahatan dan kekerasan '65, meski telah memberikan amar putusan, Pemerintah Indonesia menolaknya. Hal ini di karenakan IPT tidak mengikat secara mekanisme hukum dengan Pemerintah Indoneisa dan dalam kebijakan negara-negara yang menghormati HAM, mengambil tindakan terhadap pelanggar HAM adalah keputusan dengan menyesuaikan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.

Setelah usaha IPT gagal, pada 2016 Simposium '65, yang menghadirkan korban, pelaku, saksi dan semua yang terkait peristiwa '65 digelar, meski publik terpecah antara pro dan kontra, melalui simpoisum ini pemerintah pada akhirnya menetapkan standarisasi penyelesaian kasus HAM di masa lalu, utamayan kasus kekerasan '65, yaitu dengan menempuh penyelesain non-yudisal, prinsipnya sederhana memaafkan tapi tidak melupakan. Agaknya ini harapan terakhir yang bisa diraih, apakah nanti ia akan berubah menjadi sebuah kenyataan, saya kira itu adalah mukjizat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagai penutup, saya pribadi merasa apa yang saya tulis masih jauh dari kata sempurna. Modal saya hanya membaca 3 buku secara utuh (dari 100-an buku tentang peristiwa '65) mengenai G-30-S, puluhan jurnal dan artikel terkait (dari ribuan jurnal dan artikel ) serta video wawancara dan film. Namun satu yang pasti, modal utama saya adalah mencoba memberikan perhatian pada kasus-kasus HAM di masa lalu dan penyelesaiannya oleh negara, hanya saja secara kebetulan kasus G-30-S dan peranakannya (kekerasan '65), saya jadikan contoh betapa sulitnya kasus-kasus HAM diselesaiakan dengan adil. Dan yang terpenting lagi adalah bagaimana kita generasi muda untuk bisa melihat sebuah peristiwa sejarah dengan pandangan yang luas, bukan lagi menjadikan sejarah sebuah doktrin yang selalu kita iya-kan, akan tetapi betul-betul menjadi sebuah kitab kebijaksanaan bagi kehidupan kedepannya. Sejarah bukan menjadi sebuah trauma yang menakutkan tetapi juga menjadi pembelajaran kedepan bahwa hal buruk di masa lalu jangan sampai terjadi lagi. Itulah pembelajarn sejarah yang penting. Jayalah Indonesiaku.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun