Mohon tunggu...
Mas Haidar
Mas Haidar Mohon Tunggu... Lainnya - pemimpi layaknya Bung Karno

bukan buzzer, mung seneng komen.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berdusta Atas Nama Panca Sila

1 Oktober 2020   22:00 Diperbarui: 4 April 2021   15:46 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir di setiap September hingga 1 Oktober, masyarakat Indonesia seperti dijejali serangkaian perdebatan mengenai apa yang disebut malah jahanam G-30-S. Bukanya tanpa alasan, sebab pasca reformasi 1999, keterbukaan informasi menyebabkan banyak sekali koreksi kritis terhadap apa yang yang selama 32 tahun orde baru lakukan khususnya pada peristiwa 30 september yang menjadi fundamentalis berdirinya rezim Orde Baru.

Ketika G-30-S meletus dan menewaskan 6 jendral AD, 1 perwira pertama AD, 1 perwira menengah AD, 1 perwira tinggi AD dan 1 perwira pertama Kepolisian, pemerintahan Bung Karno sebenarnya masih percaya bahwa tragedi tersebut tak lain dan tak bukan bagian dari usaha merongrong kedulatan dan ketertiban NKRI. Tragedi tersebut tak ubahnya seperti pembrontakan PRRI/PERMESTA, DI/TII, PKI 48 dan Agresi Militer 2, kata Bung Karno G-30-S seperti riak ditengah samudra, sedikit bergelombang, namun akhirnya akan hilang jua.

Namun semua berubah ketika desas desus semakin santer terdengar bahwa para kombatan PKI dan para perwira progesiflah yang mendalangi dan melancarkan coup de'etat G-30-S. Sebagaimana kita tahu bahwa PKI adalah salah satu tiang penyangga madzhab politik di Indonesia kala itu. Bung Karno yang kemudian menjalankan demokrasi terpimpin, menyematkan NASAKOM (nasionalis, agama, komunis) sebagai  madzhab politik berskala nasional, sehingga komunis masuk dan ambil bagian sebagai salah satu perumus kebijakan strategis negara, yang dalam hal ini diwakli oleh PKI.

Jika dalam hal ini kabar mengenai keterlibatan PKI dalam G-30-S benar adanya, maka stabilitas nasional akan terganggu. Chaos kemungkinan akan terjadi dan berpengaruh pada segala aspek kehidupan masyarakat. Bung Karno yang masih berfikir secara cermat, tak mau tenggelam dalam rumor, ia pada akhirnya secara tegas meminta semua pihak untuk menahan diri dan menghindarkan diri dari berbuat anarkis, sebagaimana arahan Bung Karno dalam Komando Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi tentang Tindakan Pengamanan Revolusi, tertanggal 21 Oktober 1965. Yang kemudian diikuti dengan keterangan lebih lanjut mengenai G-30-S oleh Bung Karno: 

"Untuk saat ini belum Saya anggap wakunya (menyimpulkan siapa dalang G-30-S), sebelum Saya mempunyai Darstellung (presentasi) daripada semua fakta -fakta proloog, fakta-faktanya sendiri, fakta epiloog."

Apa yang Bung Karno katakan dan harapkan adanya kurang mendapat respon dari sebagian bawahannya, terutama Angkatan Darat yang memang sudah sejak lama memiliki dendam kesumat lahir batin dengan PKI. Memanfaatkan desas desus tersebut dan segera membikin fakta yang sesuai dengannya. Terlebih pembentukan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) yang diserahkan pada Mayjen Soeharto tak berjalan mulus, pasalnya dengan mandat tersebut ia malah membredeli sedikit demi sedikit kekuasaan dan kedikdayaan Bung Karno Sang Presiden. Dengan alasan keamanan dan ketertiban pula, baik AD maupun Kopkamtib menutup seluruh media dan dalam pengawasannya, satu-satunya sumber berita kala itu hanya koran Angkatan Darat dan Berita Yudha besutan militer (AD).

Tak hanya itu, serangkaian operasi dan perintah militer (AD) yang kelewat batas, pun mewarnai hari-hari pasca G-30-S, petinggi PKI ditangkap, bahkan dibunuh, simpatisan partai di semua lembaga yang terindikasi berada pada naungan PKI ditangkapi, ditahan, diasingkan, bahkan dihilangkan nyawanya tanpa pernah sekalipun diadili, tokoh-tokoh berpengaruh yang kiri, baik politikus, seniman, birokrat, teknokrat semuanya dibrangus dan dijebloskan ke penjara, bahkan banyak diantara mereka dibuang dan dijadikan tahanan politik. Yang paling membikin geram Bung Karno, bahkan Pangkopkamtib (Mayjen Soeharto) mendemisionerkan sejumlah 15 menteri loyalis Bung Karno (dengan tertuduh PKI dan dengan alasan keamanan). Pada akhirnya Bung Karno sadar bahwa riak yang dulu ia anggap kecil (G-30-S) dengan singkat berubah menjadi gelombang tsunami yang siap menggilas apa saja yang ada dihadapannya, termasuk Bung Karno sendiri.  

Puncaknya ketika pidato pertanggungjawaban Bung Karno yang ia beri judul Nawaksara ditolak MPRS pada 22 juni 1966, MPRS yang kala itu di bawah kendali militer meminta Bung Karno untuk memberikan pertanggungjawabanya terhadap G-30-S, meskipun dengan berat hati Bung Karno menerimanya. Pada pidato tambahan pertanggungjawabanya pada 10 januari 1967 ia menjelaskan secara gamblang mengenai pandangannya terhadap G-30-S, yang dalam versinya ia beri nama GESTOK (Gerakan Satu Oktober), kemudian ia juga memberikan analisis yang ia dapatkan beserta tim independen buatannya tentang penyebab utama GESTOK; Keblingeran pimpinan PKI, subversi nekolim dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. Meski begitu pidato pertangunggjawabannya tetap tak diterima oleh MPRS, yang kemudian berakibat pada dilengserkannya Bung Karno dari kursi kekuasaan.  

Melawan Narasi Pemerintah

Selama 32 tahun berkuasa, rezim orde baru menanamkan kepada masyarakat bahwa komunisme adalah terlarang. G-30-S yang kemudian dipatenkan menjadi percobaan coup de'etat PKI pun dikramatkan menjadi tragedi yang dihancurkan oleh azimat Panca Sila. Bahkan saking kramatnya G-30-S, sampai-sampai rezim orde baru menamai tragedi ini dan memperingatinya sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yang kemudian ditentang oleh sejarawan sekaligus peneliti senior LIPI Prof Asvi Warman Adam. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi pada 30 September maupun 1 Oktober sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ideologi Panca Sila, tragedi itu murni soal perebutan kekuasan, membunuh atau dibunuh, mendahului atau didahului.

Selain itu atas perintah Mayjen Soeharto pada 1980 ia meminta agar dibuat monumen di Lubang Buaya dan mengadakan upacara peringatan di sana. Narasi pemberangusan komunis pun semakin masif dikalangan pemerintah, militer bahkan sipil. Hak-hak asasi mereka yang dianggap PKI dan ter-PKI-kan pun dirampas, mereka dianggap keji, musuh masyarakat bahkan negara. Menghilangkan nyawa mereka adalah jiwa patriot membela bangsa dan negara di bawah panji Panca Sila.

Pada tahun-tahun berikutnya sampai pada keruntuhan orde baru, pembersihan terhadap kaum kiri dan yang dianggap kiri semakin gencar dilakukan, bahkan labelisasinya pun menjadi sangat mudah. Orde baru yang memanfaatkan Panca Sila sebagai falsafah induk negara membuat siapa saja yang mengingakari kebijakan negara maka sama saja dengan mengingkari Panca Sila dan siapa yang mengingkari Panca Sila maka ia komunis, dan barang siapa komunis maka tidak ada tempat baginya di masyarakat. Pada akhirnya G-30-S yang seharusnya tamat dan hancur pada 3 oktober, oleh Mayjen Soeharto (Pangkopkamtib) dan militer (AD) diperpanjang demi suatu hasrat yang entah seberapa besarnya untuk menguasai negara. Mengutip tulisan Geoffrey Robinson dalam bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata; Sejarah Kekerasan Politik, bahwa G-30-S adalah kudeta yang dikudeta. Hiperbola demi kepentingan pribadi semata.

Pasca reformasi 1999, akses keterbukaan informasi mulai membuat angan dan harap muncul kembali. Narasi-narasi yang selama 3 dekade mereka dendangkan, akhirnya mulai sirna, meski masih ada saja orang-orang yang mendengar dan mempercayainya. Sedikit demi sedikit fakta sejarah mulai nampak, bangkai-bangkai kebohongan yang dikubur mulai tercium aroma busuknya. Penelitian dan pelurusan sejarah gencar dilakukan. Hasilnya cukup mencenangkan. Hampir sepanjang penghujung akhir tahun 1965 sampai akhir 1966 hampir 1 juta orang yang dianggap PKI dihilangkan secara paksa, entah dibunuh atau dibuang ke pengasingan. Angkanya memang tidak pasti, Bung Karno mengatakan dikisaran 3-5 ratus ribu, para sejarawan pada angka 6 ratus ribu - 1 juta jiwa, Kol Sarwo Edhi, Panglima Penumpas PKI mengatakan bahwa jumlahnya 3 juta jiwa. Bahkan menurut seorang peneliti sejarah 65, Prof Jhon Rossa, kasus penghilangan paksa pada 1965-1966 atau ia sebut pembantaian tersebut adalah kejahatan genosida terbesar kedua era modern setelah pembantaian yahudi di kamp kosentarsi NAZI; Holocust. Tentunya selain jumlah korban ini, fakta juga mengungkap bahwa PKI bukanlah satu-satunya aktor sebagaimana yang dilabelkan oleh Orba, tetapi ia hanya satu dari sekian banyak faktor, dan mungkin sekali hanya menjadi kambing hitam dari proses perebutan kekuasaan tingkat tinggi.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun