Menurut data LPSK, permintaan permohonan perlindungan terhadap kekerasan seksual, meningkat tiap tahunnya. Dilansir dari catatan tahunan Komnas Perempuan serta KPAI, angka tindak asusila & kekerasan seksual, utamanya terhadap anak & kaum perempuan semakin tahun angkanya naik signifikan, bahkan hanya kurun waktu 12 tahun sejak 2008, angkanya membengkak hampir 800%.
Banyak yang percaya bahwa kasus tindak asusila & kekerasan seksual semacam fenomena gunung es; menginggat proses pradilan yang cukup berliku, belum lagi adanya celah hukum yang bisa diambil oleh pelaku, kemudiann ancaman reviktimasi, & yang paling menjadi persoalan adalah budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan tindak asusila & kekerasan seksual hanya sebatas persoalan moralitas saja, sehingga korban pun dalam hal ini akan turut terseret & bahkan dianggap memicu terjadinya sebuah tindak asusila & kekerasan seksual.
Anggapan ini sejalan dengan argumentasi yang muncul di masyarakat bahwa ada gula ada semut, sehingga hampir secara pasti ketika ada kasus tindak asusila & kekerasan seksual, si korban yang notabene adalah perempun akan dijustifikasi; kenapa kamu memakai pakaian terbuka?, kenapa tidak menutup auratmu?, kenapa keluar sendirian?, kenapa keluar tengah malam?, seolah-oleh si korbanlah yang mengundang para pelakunya. Hal-hal seperti inilah yang semakin menambah beban bagi para korbannya & membuat mayoritas korban lebih memilih untuk bungkam serta menikmati sendiri trauma berkepanjangannya. Â
Padahal hasil survei yang dilakukan Komnas Perempuan terhadap 62.000 koresponden menyatakan bahwa mayoritas korban mengenakan celana /rok panjang & tidak terbuka (18%), mengenakan hijab (17%), mengenakan baju lengan panjang (18%), mayoritas kasus juga terjadi pada siang hari (35%) & sore hari (25%). Setidaknya data ini menunjukan bahwa sudah sepatutnya presepsi kita tentang tindak asusila & kekerasan seksual harus diubah. Lihatlah kasus dari 2 sisi secara mendetail & objektif menempatkan posisi korban sebagai korban & pelaku sebagai pelaku.
Fakta banyaknya kasus tindak asusila & kekerasan seksual di Indonesia, menimbulkan tanda tanya besar, apakah negara hadir untuk mereka ataukah negara telah abai & lalai sehingga terkesan membiarkan anomali sosial ini ?Â
Sebetulnya negara secara berdaulat telah hadir bagi mereka melalaui beberapa peraturan perundang-undangan terkait tindak asusila & kekerasan seksual, seperti pada KUHP & KUHAP, kemudian UU No 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No 39/1999 tentang HAM, UU No 21/2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU No 5/1998 tentang konvensi menentang penyiksaan & perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, UU No 13/2006 tentang perlindungan saksi & korban, UU No 52/2009 tentang perkembangan kependudukan & pembangunan keluarga, UU No 36/2009 tentang kesehatan, UU No 35/2014 tentang perubahan atas UU No 23/2002 tentang perlindungan anak, & yang terakhir UU No 31/1997 tentang peradilan militer.
Namun kenyataannya sebegitu banyak peraturan yang ada masih belum mampu secara komperhensif melindungi mereka yang membutuhkan, di karenakan pendefinisian, pengelompokan & penyifatan dari peraturan tersebut masih sangat terikat & terbatas, sehingga jika terjadi pelaporan mengenai tindak asusila & kejahatan seksual yang sifat & definisinya belum tercantum pada peraturan tersebut, maka besar kemungkinan kasusnya akan dihentikan, paling parah, kasusnya akan diselesaikan secara kekeluargaan dengan paksaan pelaku & diamini oleh pihak berwajib dengan menjadi mediatornya hingga korbanlah yang dirugikan baik secara fisik & psikis.
Maka melihat fakta tersebut, kelahiran RUU PKS akan menjadi pelengkap yang paripurna dengan menutup semua kecacatan & kekurangan peraturan yang sudah ada serta menjadi salah satu oase ditengah gersangnya padang peradilan kasus tindak asusila & kekerasan seksual di Indonesia.
RUU PKS yang terdiri dari 16 bab & 184 pasal serta adanya pendefinisian baru mengenai tindak asusila & kekerasan seksual atas 9 macam yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, & penyiksaan seksual akan semakin menunjukan kehadiran & keseriusan negara dalam menciptakan ruang yang aman bagi semua warganya tanpa terkecuali.
Terlebih tujuan yang dibawa RUU ini tidak hanya sekedar pada satu wajah saja, yaitu represif, melainkan juga memiliki wajah lain yang tak kalah urgen, yaitu preventif, sehingga RUU ini juga dicanangkan akan mampu mencegah berulangnya kekerasan seksual di masa yang akan datang serta dapat memberikan proses pemulihan yang tepat bagi korbannya.
Yang menjadi menarik & semakin menempatkan RUU ini layak segera diundangkan adalah karena RUU ini menganut sistem hukum yurisprudensi terapeutik, yaitu sistem hukum yang menghargai kesehatan psikologis & sedini mungkin mencegah adanya konsekuensi-konsekuensi anti-terpeutik dalam penegakan hukum, sehingga dalam pengamalannya, RUU ini menjadi proses pemulihan bagi mereka yang bersinggungan dengan objek RUU ini, seperti korban, pelaku & masyarakat sebagai akibat dari kejadian ini, bahkan dalam pemaknaan lebih luas terapeutik di sini dimaknai sebagai proses penguatan terhadap korban berbasis gender agar kuat, mampu & berdaya dalam mengambil keputusan & mengupayakan kehidupan yang adil, bermartabat serta sejahtera di kemudian hari.Â
Proses pemulihan ini mengedepankan 5 pakem utama yang saling berkaitan erat, yaitu 1) berorientasi pada korban, sehingga keterlibatan & aspirasi korban adalah hal inti dari proses ini, 2) berbasis pemenuhan hak-hak korban, baik hak mendapatkan kesamaan di mata hukum, hak mendapatkan hak-haknya, hak bersosialisasi di masyarakat, & yang terpenting lagi hak mendapatkan proses rehabilitasi, 3) multidimensi, yaitu keterlibatan semua aspek yang terkait dengan korban & memastikan semua aspek terkait tersebut berada pada posisi mendukung korban, baik aspek fisik, psikis, ekonomi, hukum, & masyarakat, 4) bersifat komunitas, yaitu dengan mengikutsertakan komunitas di sekitar korban baik komunitas keluarga, teman, maupun masyarakat sekitarnya, 5) berkesinambungan; tidak ada proses yang cepat, semua butuh waktu & perencanan yang matang, yang kesemuanya itu perlu dijaga kestabilan serta keberlangsungannya. Â