Akhir-akhir ini publik kembali dikejutkan oleh ulah DPR, biarpun dalam sejarahnya kita sudah dipaksa terbiasa dengan pola-pola unik nan lucu mereka, namun kasus kali ini berbeda, pasalanya apa yang sekarang menjadi polemik berkaitan erat dengan ideologi negara kita, falsafah bangsa dan sendi-sendi tauladan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Polemik itu adalah kemunculan RUU HIP yang dalam argumennya dijadikan sebagai salah satu legitimasi lebih konkret terkait penerapan Panca Sila dalam setiap sendi berkehidupan di Indonesia baik dari sisi pemerintahan, birokrasi, hukum, keamanan, pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi, yang dalam perkembangannya justru menuai banyak kecaman dari publik, pasalnya RUU ini justru dianggap menurunkan marwah nilai-nilai Panca Sila dan membuka keran bagi pertumbuhan ideologi komunis dan kebangkitan PKI.
Dari data yang penulis lansir melalui laman resmi DPR RI mengenai risalah sidang baik oleh baleg maupun panja, setidaknya pembahasan mengenai RUU HIP bisa dibilang sangat cepat. Meskipun tema ideologi bersingunggan dengan tupoksi komisi II namun pencetus RUU ini justru berasal dari baleg DPR RI. Namun hingga berita ini hangat diperbincangkan publik, masih menjadi misteri mengenai siapa pengusul awal RUU ini.
PDIP yang pada akhirnya santer diberitakan menjadi biang dari RUU ini melalui jubir khusus RUU HIP, Ahmad Basarah menegaskan bahwa RUU ini muncul dan murni diinisiai parlemen sebagai terjemahan dari pidato politik ketua MPR RI Bambang Soesatyo, yang kala itu mengatakan harus ada payung hukum dalam upaya-upaya membumikan Panca Sila.Â
Berangkat dari situ, lantas DPR melalui baleg mengadakan rapat untuk pertama kalinya dengan agenda dengar pendapat, yang dihadiri oleh Prof Jimly dan Prof FX Soemekto.Â
Dalam paparanya Prof Jimly menyatakan dukungan dan antusias terhadap RUU ini, terlebih beliau juga mengusulkan perubahan BPIP menjadi Dewan Nasional Pedoman Ideologi Panca Sila (DN-PIP) sehingga RUU ini bisa menjadi payung hukum pelaksanaanya dan sekaligus menjadi semacam omnibus law bagi peraturan perundang-undangan lainnya apabila ditemukan melenceng dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Panca Sila. Sampai tahapan sini pembahasan masih berjalan lancar dan belum nampak adanya penolakan dari kalangan masyarakat.
Setelah beberapa kali rapat baik oleh panja maupun baleg, setidaknya sudah berhasil membuat naskah akademik dan dilanjutkan dengan penyusunan draf RUU HIP yang terdiri dari 10 bab dan 60 pasal. Dalam pembahasanya, semua fraksi di DPR menyetujui RUU ini masuk proglenas prioritas 2020 yang artinya setuju dengan diundangkannya RUU ini, kecuali fraksi Demokrat yang sedari awal pembahasan menarik diri dari pembahasan RUU ini, berdalih lebih mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di tengah-tengah pandemi covid-19.
Dalam risalah rapat tertulis bahwa fraksi PDIP dan NASDEM menyatakan setuju membawa RUU ini ketinggkat selanjutnya, kemudian fraksi GOLKAR setuju bahwa RUU ini merupakan inisiatif DPR dengan beberapa catatan yang disampaikannya dalam pandangan fraksi, kemudian fraksi GERINDRA setuju dengan salah satu catatan, RUU ini bukan untuk menguatkan BPIP, melainkan sebagai pelaksana, kemudian fraksi PKB setuju RUU ini menjadi RUU inisiatif DPR dengan catatan menambahkan pada konsideran menimbang huruf a agar rumusannya disesuaikan dengan rumusan yang tercantum pada pembukaan UUD 1945.
Kemudian fraksi PKS yang menyetujui asalkan dengan penyempurnaan yang diberikan oleh PKS, seperti memasukan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan ajaran komunisme/marxsisme-leninisme sebagai ketentuan menginggat, kemudian juga meminta mencabut ketentuan pasal 7 ayat (2) terkait dengan ekasila, kemudian fraksi PAN setuju dengan catatan proses selanjutnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memasukan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 kedalam draf RUU, kemudian yang terakhir dari fraksi PPP setuju dengan catatan memasukan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 serta menjadikan BPIP sebagai lembaga yang sejajar dengan lembaga pemerintah lainnya. Sehingga dari sini kita bisa melihat bahwa hampir semua fraksi di DPR secara bersyarat menyetujui RUU ini, Â sampai pada sidang paripurna ke-15 pada 12 mei yang lalu bahkan menyetujui RUU ini untuk dibahas pada tingkat selanjutnya dan menjadi RUU inisiatif DPR.
Sampai di sini babak baru polemik RUU HIP dimulai, era keterbukaan informasi birokrasi yang semakin baik serta daya kritik masyarakat yang semakin tumbuh menjadikan RUU ini berada pada lingkaran kontrovesi. Entah siapa yang memulai, namun belakangan menyeruak ke permukaan bahwa RUU HIP ini berpotensi membuka gerbang bagi neo komunisme dan langkah awal negara kita berubah menjadi sekuler. Hal ini didasari pada draf RUU HIP dengan tidak memasukan TAP MPRS No 25/MPRS/1966 tentang pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme serta pasal 7 yang terdiri dari 3 ayat, Â menyebutkan tentang konsep trisila, ekasila, dan ketuhanan yang berkebudayaan.Â
Dalam ayat 2 pasal itu menyebut bahwa ciri pokok Panca Sila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Lalu di butir selanjutnya disebutkan trisila terkristaliasi dalam ekasila, yaitu gotong royong sehingga menganggap bahwa RUU ini bagian dari legitimasi keberadaan neo komunisme dan sosialisme di Indonesia. Kemudian lebih jauh RUU HIP ini juga dianggap akan mencederai Panca Sila dan dikhawatirkan akan menimbulkan era baru otoritarianisme Rezim Jokowi. Sebagaimana kita tahu bahwa pada era orla maupun orba Panca Sila dan tafsiranyan diperalat sebagai pelanggeng kekuasaan.