Saat ini sering terjadi permasalahan hukum yang menyita khayalak umum. Permasalahan hukum dalam perkembangan era digital ini lebih banyak pada permasalahan penggunaan bahasa dalam media. Penggunaan bahasa dalam media sendiri juga telah diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Â
Peraturan tersebut mengatur tentang kejahatan berbahasa, seperti ujaran kebencian (hate speech), berita bohong atau palsu (hoax), hasutan (provokasi), fitnah, pencemaran nama baik, penistaan atau penghinaan, penyuapan, ancaman, dan lainnya. Ranah ahli bahasa dalam kasus-kasus tersebut saat ini memberikan dampak yang berarti, sebab dengan adanya ahli bahasa dapat memberikan penjelasan makna bahasa dan analisia pemikiran dalam tujuan apa kejahatan berbahasa tersebut dilontarkan.
Kejahatan berbahasa yang sering terjadi di Indonesia sendiri didominasi oleh ujaran kebencian dan cyberbullying. Ujaran kebencian dan cyberbullying tidak hanya terjadi pada gender tertentu saja namun seringkali perempuan masih mendapat perlakuan kurang pantas di ranah media sosial.Â
Seperti halnya pada diksi "Tobrut" yang baru-baru ini menjadi perhatian khalayak umum. Penggunaan diksi tersebut dapat merugikan pihak perempuan yang dapat memberikan pandangan negatif pada penampilan perempuan. Hal ini, tidak sekali saja terjadi tetapi sudah berlangsung sejak lama tanpa kita sadari.Â
Adapun diksi-diksi sejak lama digunakan untuk memberikan pandangan negatif pada penampilan perempuan seperti toge, tocil, panlok (panda lokal) dan lain sebagainya. Diksi-diksi tersebut ditujukan kepada perempuan bahkan panda lokal ditujukan untuk perempuan Tionghoa yang tinggal dan bernegara Indonesia.
Kejahatan berbahasa, khususnya terhadap perempuan telah lama mengakar dan sering kali menjadi permakluman. Hal ini memberikan stereotip perempuan baik dari penampilan fisik maupun ras menjadi negatif. Ujaran-ujaran dengan diksi tersebut masuk dalam ranah pelecehan seksual secara verbal yang tertuang pada pasal 5 UU TPKS "Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.0OO.000,00 (sepuluh juta rupiah)".Â
Oleh karena itu, sebaiknya kebiasaan memberikan stigma pada perempuan dapat dihilangkan dengan pemahaman etika dan norma melalui pendidikan sehingga kesadaran berujar dalam masyarakat dapat dihayati dengan baik serta tidak terulang kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H