Lelaki itu masih setia menunggui hujan. Pisau belati yang dicuri dari pamannya masih digenggamnya erat. Matanya masih menuju timur. Mencari pertanda kalau-kalau, ia muncul lagi. Tidak peduli walau gelap, basah dan dingin. Ia masih setia menunggui hujan. "kalau-kalau pagi kembali dan menenteng matahari di lengannya, aku harus membunuhnya!", pikirnya. Sekilas waktu tetap berjalan dan pagi berulang. Benar matahari tetap saja dibawanya.Â
Dengan senyumnya yang sinis matahari itu menatap sang lelaki. Sembari membuyarkan malam, ia pun menampar hujan. Menjadikannya embun yang luruh hingga berselingkuh dengan rerumputan. Lelaki itupun tersentak. Ditelannya kantuk sebagai sarapannya pagi itu. Matanya nanar menatap matahari yang sudah mengusir hujan darinya. Kemudian ia pun berlari menuju timur, diacungkan pisaunya kepada matahari itu. "aku akan membunuhmu...!", teriaknya.>Inilah kisah lelaki itu, lelaki yang sangat mencintai hujan dan begitu ingin membunuh matahari.Â
Felix Satrio, - Malam di Atas Atap -- 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H