Mohon tunggu...
felix satrio
felix satrio Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pecinta Pendidikan, kebudayaan, kesenian, kemanusiaan dan Katolisitas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidik yang Mengenal dan Memberdayakan

11 Mei 2023   13:12 Diperbarui: 12 Januari 2024   09:38 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAJIAN TENTANG LEARNED HELPLESSNESS DAN ANAK TINGGAL KELAS

Pengantar


Masih sangat kuat diingatan, ketika di SMP hingga SMA, saat menjelang ulangan matematika atau pelajaran lain yang berhubungan dengan angka, seperti akuntansi ataupun ekonometri. Saya cenderung untuk menyerah dan lebih memilih untuk mengabaikannya. Sikap antipati itu terbawa hingga saat hendak memilih jurusan kuliah, saya memilih jurusan yang tidak banyak berurusan dengan angka-angka. Pikiran dan perilaku seakan sudah terprogram untuk menyerah ketika berhadapan dengan soal yang berhubungan dengan angka ataupun simbol-simbol. Saya yakin, hal ini juga banyak terjadi pada orang lain. Mungkin pada anda sendiri, anak anda, keponakan atau mungkin jika anda seorang guru, hal ini juga terjadi pada murid anda.


Learned Helplessness


Bagaimana sikap 'menyerah' atau merasa 'tidak berdaya' ini bisa terprogram? Dalam kasus saya dan angka, saya sendiri sudah bisa melacak, bahwa hal ini terkait dengan pengalaman masa kecil yang terjadi terus menerus. Saat belajar matematika, kerap kali saya menghadapi hukuman fisik, atau minimal perasaan tidak nyaman ketika mengalami kesulitan dengan matematika pada waktu itu. Hal ini mungkin bisa dijelaskan dengan penelitian yang dilakukan Seligman (1967), ketika sekelompok anjing diposisikan pada tempat dimana mereka tidak bisa melarikan diri. Anjing-anjing tersebut disetrum. Awalnya anjing-anjing itu berusaha menghindar dan terus meronta, namun tetap saja tidak bisa menghindar. Situasi ini berlangsung lama dan berulangkali. Sehingga ketika mendapatkan perlakuan yang sama, namun dengan posisi dimana anjing-anjing tersebut seharusnya bisa melarikan diri, anjing-anjing ini memilih untuk diam dan dengan sangat menyedihkan menerima dirinya untuk disetrum. Hal yang berbeda terjadi pada anjing-anjing yang tidak mendapatkan perlakuan awal yang sama, dimana anjing-anjing tersebut ditempatkan pada posisi yang memungkinkan untuk melarikan diri. Saat diposikan pada kotak dan disetrum,berbeda dengan anjing-anjing sebelumnya, anjing-anjing tersebut langsung bisa melompat dan melarikan diri. Melalui percobaan itulah, Seligman merumuskan teori tentang learned helplessness. 

Fenomena yang sama sebenarnya juga terjadi pada gajah-gajah di India. Pelatih gajah mengikat anak gajah dengan tali yang diikatkan pada pancang kayu, awalnya anak gajah itu meronta dan ingin melepaskan diri, dan tentu saja selalu gagal karena tubuh anak gajah itu masih kecil. Tapi ketika gajah tersebut sudah dewasa dan bertubuh besar ketika diikat dengan tali dan pancang kayu yang sama, dimana seharusnya dengan mudah gajah itu bisa melepaskan diri, namun apa yang terjadi, ternyata gajah tersebut memilih untuk terikat pada tali dan pancang kayu yang sama.

Anjing dan gajah tadi, telah kehilangan kemampuan untuk mengenali kekuatannya, sehingga tidak melihat kemungkinan untuk menjadi berdaya. Ada kesamaan antara saya vs angka, anjing  vs kotak dan gajah vs tali. Kami telah belajar bahwa apapun usaha yang kami lakukan akan sia-sia ketika berhadapan dengan objek-objek tadi. Ketidakberdayaan yang dipelajari atau learned heplessness yang dialami oleh anak-anak akan membuat anak tertinggal semakin jauh dalam pencapaian akademisnya.


Learned Helplessness dan Pemasalahan Akademik


Dalam konteks sekolah dengan kurikulum yang terstandar dan penilaian yang terstandar, terkadang guru terdorong untuk terlalu memikirkan target kurikulum. Sehingga kurang awas dengan kemampuan awal tiap individu siswanya. Hal ini membuat anak-anak tertentu harus menghadapi kegagalan yang berulang-ulang yang membuat mereka belajar untuk merasa tidak berdaya, hingga lebih memilih mentolerir situasi negatif yang didapat karena kegagalannya. Ketika guru menyadari bahwa Learned Helplessness ini mematikan fitrah pembelajar yang ada pada anak-anak, menghilangkan kemampuan untuk mengenali potensi dirinya dan lebih jauh lagi kehilangan motivasi belajar. Memahami bahaya Learned Helplessness akan membuat guru lebih waspada dan hati-hati dalam memberikan pendampingan untuk anak-anak ini.


Pendidikan awal, dalam hal ini Sekolah Dasar (SD) memiliki peran yang paling penting dalam membentuk persepsi seseorang tentang belajar yang kemudian termanifestasi dalam perilaku belajar. Pada jenjang inilah anak-anak belajar hal-hal dasar dalam belajar, seperti; membaca, menulis dan berhitung, serta hal-hal mendasar lainnya yang akan menjadi pondasi dalam membentuk pribadi pembelajar selanjutnya. Di saat masa belajar awal ini pulalah potensi anak-anak mengalami Learned Helplessness ini sudah cukup besar. Ketika anak-anak ini terlanjur merasa tidak berdaya menghadapi pelajaran tertentu. Merasa bahwa itu adalah diluar kontrol mereka dan membuat mereka kehilangan kesadaran akan potensi yang dimilikinya. Maka pondasi bangunan belajar yang mereka miliki akan sangat lemah, sehingga permasalahan pencapaian akademik akan sering muncul. Apalagi dalam sistem kurikulum terstandar dan penilaian terstandar, kemungkinan harus tinggal kelas menjadi suatu keniscayaan. Satuan pendidikan biasanya memiliki syarat kenaikan kelas, sebagai suatu cara memastikan bahwa anak-anak yang naik kelas benar-benar memiliki kompetensi yang telah digariskan dalam kurikulum.


Permasalahan Tinggal kelas di SD

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun