Televisi itu jarang dimatikan meski aku telah berulangkali mengingatkan: Bila tidak menonton, matikan televisi. Tagihan menjadi sangat tinggi. Pulsa 20.000 rupiah seringkali hanya menyalakan listrik  tiga hari lamanya. Dan bila meteran listrik berbunyi tuut tuut tuut, para tetangga akan berdiri di pintu, dan dengan wajah menjengkelkan mengecek meteran kamar nomor berapakah yang berbunyi.
"Adek," aku berkata kepada anakku, "apakah susah mematikan televisi?"
 "Lupa, Ayah," ia menjawab pendek sambil terus memukul sesuatu di dalam gawainya. Ia kelihatan sangat asyik bermain dan aku tidak tega untuk mengomelinya.
Suatu malam aku sedang duduk di dalam kamar, memakai rumus dari Cina untuk memecahkan rahasia SDSB. Aku pernah menang dua juta rupiah, dan bila menang lagi minggu ini, aku bisa membayar listrik, membeli beras dan makanan yang enak-enak untuk istriku dan anakku.
Televisi di ruang tamu sangat ribut. Anakku masih menonton film kartun entah apa judulnya. Sebentar lagi film Ultramen akan dimulai. Ultramen sering menyatukan kami berdua. Aku menyukai Ultramen saat masih remaja, dan kini, aku dan anakku sering duduk berdua di depan televisi, berpelukan sambil menyaksikan Ultramen mengalahkan orang-orang jahat.
Sedang asyik aku mencocokkan rumus, sekonyong-konyong anakku berteriak keras sekali, dan suara televisi diam menjadi hilang tak terdengar. Saat aku berdiri dan membuka pintu kamar, anakku sedang berdiri di depan televisi, memasang kuda-kudanya seolah ingin mengajak televisi untuk berkelahi.
"Ada apa dengan televisi?" Aku bertanya.
"Aku mematikannya," ia menjawabku.
"Puji Tuhan, kini kau tahu cara mematikan televisi," aku menyindirnya.
Ia bergerak ke meja, membuka tudung saji dan mencomot tahu goreng. Ibunya sedang ada di Bali, mengikuti pembekalan untuk bisnis MLM yang sedang coba ditekuninya, dan sudah dua hari ini aku hanya memberi bocah kecil itu makan tahu.
"Mengapa kau mematikan televisi?" Aku bertanya kembali. "Bukankah ini saatnya menonton Ultramen?"