Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Es Teh, Kompas Moral & Pentingnya Membumi

4 Desember 2024   15:15 Diperbarui: 4 Desember 2024   15:21 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi es teh manis. (Dok. Shutterstock/tiverylucky) 

Cuaca di bulan terakhir tahun ini memang tidak sepenuhnya bersahabat. Terkadang hujan seperti badai, namun bisa juga panas seperti gurun pasir. Ketika panas, datanglah peluang es teh manis seperti oase yang mulai ramai sekarang ini. Harga terjangkau namun sangat berarti bagi siapapun yang telah lelah menjalani dunia yang memanas, namun perlu sentuhan kesejukan. 

Lantas, bukankah es teh manis juga bisa menjadi sebuah kompas. Meskipun tidak tidak menunjukkan arah mata angin, minimal memudahkan siapapun yang sedang hilang arah, bisa kembali sejuk dan bisa berpikir menentukan sesuatu. Namanya juga oase. Oase di padang gurun yang berisi hamparan vegetasi hijau dan sumber air bisa sedikit menjernihkan suasana sebelum merintangi perjalanan selanjutnya.

Cerita soal es teh manis juga sedikit mendorong pemahaman bahwa sehendaknya kita bisa berbuat seperti es teh manis, tidak melulu 100 persen seperti sebuah kompas yang langsung menunjukkan arah sebenarnya. 

Minimal kita bisa hadir untuk menjernihkan suasana, memberikan sesuatu yang 'adem' yang tentunya memudahkan sebuah langkah agar bisa bergerak secara presisi. Namanya juga dunia sekarang dalam berita sedang panas-panasnya. Jangankan dunia luar, dunia dalam (keluarga kita) tidak selamanya sejuk. Pasti ada situasi yang menggambarkan fenomena seperti padang gurun. 

Makanya, perlunya kita yang masih anak-anak untuk menjadi 'es teh manis' dalam keluarga kita. Namun, esnya jangan kebanyakan karena jika banyak pastinya akan membeku dan membuat kekakuan sehingga tidak bisa sepenuhnya bergerak, kemudian jangan terlalu banyak gula karena jika terlalu manis maka akan 'melambankan' kita pada situasi supaya kita terus berkembang, karena semua sudah terkesan baik-baik saja. Namanya juga dunia.

Menjadi es teh manis, supaya bisa benar-benar memberikan kesejukan sehingga dia bisa membantu daya pikir ditengah situasi panas, tidak harus dia yang menjadi jawaban atau solusi. Kuncinya adalah satu. Tahu bumi itu seperti apa. Seperti mengacu pada pandangan diatas, yang mana gula dan es harus benar-benar presisi, kita harus lihat dahulu buminya seperti apa, ladangnya seperti apa. 

Jangan sampai gula terlalu banyak atau es terlalu banyak malah membuat sakit yang baru. Es teh manis mengurangi kepanasan, malah justru membuat kemalasan, atau justru membuat kekakuan. Harus ditakar yang pas, yaitu mencapai titik kejernihan. Sehingga bisa dimaknai bahwa 'kompas moral' kita bukan lagi seperti kompas yang murni menunjuk arah, namun memudahkan kita mencari arah yang tepat. Setidaknya itu lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun