Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Unpopular Opinion: Pilpres 2024 sama seperti Pilpres Korsel 2022

21 Maret 2024   15:48 Diperbarui: 21 Maret 2024   15:49 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Disclaimer : Hanya Opini Belaka dan tidak mengatasnamakan pihak tertentu dan cenderung menyudutkan/berpihak pada entitas tertentu.

Sebelumnya tadi malam kita mendengar pengumuman Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih oleh KPU RI, hasilnya jelas Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi memenangkan Pesta Demokrasi. Sebagai masyarakat Indonesia baik yang memilih maupun tidak, harapannya semoga Kepemimpinan baru bisa menjalankan amanahnya sesuai dengan yang selama ini dijanjikan. Semoga, Demokrasi kita ditengah gonjang-ganjing terlepas beragam sudut pandang bisa dipastikan agar tetap terjaga lebih stabil. Pemerintahan Indonesia saat ini menghadapi situasi ekstra dalam dinamika global yang mana terjadi sebuah pertentangan secara simetris dan asimetris ketidakpastian akan ekonomi dan ketahanan terhadap sektor esensial seperti pangan dan energi sehingga perlu ada sentuhan kepemimpinan yang kuat. Bukan sekedar kuat tapi konsisten dan komitmen.

Setelah dari pengantar diatas. Ini hanya sekedar cocokologi sebenarnya, tapi mungkin saja secara opini kalau dirunut pada sedikit banyak sejarahnya Dinamika Pemilihan Umum Presiden kita ada sedikit kesamaan dalam dinamika Pilpres di Korea Selatan 2 tahun lalu. Spesifiknya adalah dinamika yang berlangsung di Internal Partai Berkuasa pada saat itu yaitu Partai Demokrat Korea (Democratic Party/DP). Sedikit pencerahan, bahwa di Korea Selatan sendiri jelas Presiden hanya boleh sekali dan tidak boleh nambah periode sehingga setiap tahun tentunya baik Partai Berkuasa maupun Oposisi akan mengadakan Konvensi dimana setiap figur dari partai akan bertarung untuk merebut hati para anggota Partai agar bisa dicalonkan secara demokratis sebagai Capres dari Partai tersebut. Akhir 2021, Konvensi Partai Demokrat sendiri diikuti oleh 3 calon yaitu Lee Nak Yon, Perdana Menteri Korea Selatan era Moon Jae In (2018-2020), kemudian Choo Mi Ae, Menkumham era Moon Jae In sekaligus bekas Ketua Partai Demokrat Korea, Park Yong Jin yaitu Anggota Majelis Nasional (DPR) Korsel sejak 2020 dan Lee Jae Myung sendiri yaitu Gubernur Gyeonggi, Provinsi termaju dan terpadat di Korsel yang dekat dengan Ibukota Negara. 

Keempat Figur merepresentasikan Faksi-Faksi yang berbeda di Partai, yang paling sengit adalah Lee Nak Yon vs Lee Jae Myung dimana 3 lainnya hanya penggembira. Lee Nak Yon merepresentasikan faksi utama yang cenderung Sentris Liberalis yang mana mereka dikenal sangat idealis dan kritis sementara Lee Jae Myung merepresentasi faksi yang Liberal Progresif dimana cenderung berbaur pada dinamika modern (kalau tidak salah). Moon Jae In cenderung endorse Lee Nak Yon untuk menjadi Capres, sementara Lee Jae Myung diendorse oleh Kepengurusan Pusat Partai pada saat itu. Moon Jae In cenderung berbeda dengan Faksi Lee Jae Myung mengingat belakangan banyak sekali kebijakan Moon dikritisi dimana Moon sendiri adalah sosok yang 'lurus' sementara Faksi Lee sendiri adalah sangat 'royal' dan 'nrimoan'. Faksi Moon rerata adalah para eks aktivis reformis yang getol jadi Oposan sehingga jiwa idealisnya menggebu-gebu sementara Faksi Lee sendiri adalah yang cenderung menara gading dan sudah getol akan kekuasaan, sehingga jiwa pro rakyatnya tumpul. Sementara yang menjadi isu adalah Pemilihan Legislatif di 2020 waktu jaman Covid-19, Partai Demokrat Korea yang memenangkan 2/3 Kursi Majelis Nasional dominannya adalah Faksi Liberal Progresif. Sebenarnya banyak faksi di Partai Demokrat ini tapi mungkin kita memandang yang utama saja dan paling berseteru.

Salah satu yang ditentang oleh Partai Demokrat Korea atau dikritik adalah Moon Jae In yang mengangkat Yoon Suk Yeol sebagai Jaksa Agung dimana hal ini yang membuat bersitegang kubu di internal partai. Walau singkat cerita Yoon direshuffle karena desakan politik dari Majelis Nasional dan akhirnya Yoon 'nyebrang' ke Oposisi dimana tadinya beliau adalah sosok Independen dan sangat idealis dimana jaman Park Geun Hye, beliau tidak pandang bulu 'nangkep' orang-orang yang indikasi korup dan jaman Moon demikian namun ditentang habis Partai Demokrat Korea karena ambisinya adalah politis. Singkat cerita benar bahwa dia memang 'ngebet' ingin menjadi Capres. Singkat cerita kembali ke Konvensi Demokrat Korea, Lee Jae Myung memenangkan Konvensi dengan sangat tipis mengalahkan Lee Nak Yon yang diendorse Presiden. Memang diantara 4 figur, mungkin LJM vs LNY yang sangat sengit pertarungannya karena paling bertentangan dan akhirnya LJM pun menang, dengan dukungan banyak kader saat itu. Mungkin seperti kasus di Indonesia yang mana bisa jadi akan mirip-mirip seperti prahara yang terjadi di Partai PDIP saat ini antara Jokowi kemudian Ganjar, Megawati dan Prabowo atau Anies. Dimana pada akhirnya, memang Moon Jae In seperti tidak getol mendukung Lee Jae Myung alias setengah hati, sekalipun Presiden memang dituntut untuk netral alias tidak berpihak langsung namun ketika Lee Nak Yon terlihat tidak mendukung atau tidak allout dukung Lee Jae Myung sepertinya memang internal tidak baik-baik saja.

Jokowi diibaratkan seperti Moon Jae In, Megawati seperti Ketua Partai Demokrat Korea/representasi Pengurus Pusat, kemudian Puan seperti Lee Nak Yon dan Ganjar seperti Lee Jae Myung. Jokowi endorse Puan (uniknya disini) namun Pengurus Pusat cenderung endorse Ganjar. Prabowo dimana? Diibaratkan seperti Prabowo namun kena pecat dan akhirnya nyebrang ke Oposisi melawan kubu bosnya, atau mungkin mirip-mirip seperti Anies (diantara itu). Analoginya PDIP sebagai Partai Berkuasa membuat Konvensi Jokowi punya jagoan, dan Pengurus Pusat juga sama. Kemudian Jokowi dan Pengurus Pusat saling berkonflik salah satunya perihal Jokowi yang dulu lantik Anies/Prabowo tapi dikritik habis oleh Pengurus Pusat, Jokowi pecat Anies (tarohlah itu) kemudian nyebrang ke Oposan dan jadilah Capres disana. Di Partai, Jagoan Jokowi pun kalah yang mana Ganjar yang jadi Capres dari PDIP. Jokowi pun akhirnya setengah hati tidak turun langsung mendukung, bahkan indikasinya mendorong loyalisnya yang notabene sosok-sosok idealis non partai (Moon dikenal dekat dengan kalangan aktivis semacam SJW waktu zaman dia ikut peristiwa Gwangju) yang akhirnya beralih ke Yoon. Sementara saat itu Demokrat Korea memang sedang dikritik habis karena elitnya banyak keblinger sementara Moon Jae In, Presiden yang paling dicinta. Mirip dengan Jokowi dicinta tapi tidak dengan PDIP. Terlihat pula dari kawasan elektoral dimana Moon Jae In pernah menang lumayan disitu akhirnya kalah ketika Lee Jae Myung yang nyalon padahal sesama dari Demokrat Korea. Padahal Moon Jae In tidak terpantau 'cawe-cawe' atau membelot. 

Moon Jae In hanya terkesan 'diam' atau tidak bergerak padahal kalau dia juga ikut bantu dalam hal ini melalui Lee Nak Yon (memang sempat menjadi analisa para pengamat disana) untuk turun gunung berkampanye untuk Lee Jae Myung. Demokrat Korea juga akan solid, namun pada akhirnya pemilih Moon Jae In pun juga di 2017 lalu banyak yang swing ke Yoon Suk Yeol. Sebenarnya, orang juga banyak yang kurang suka dengan People Power Party (PPP) atau Partai Kekuatan Rakyat. Yoon juga tidak banyak disuka oleh mayoritas elit disana, termasuk Capres 2017, yaitu Hong Jun Pyo selaku elit senior bahkan Ketua Umumnya sendiri yaitu mantan Perdana Menteri dan Penjabat Presiden setelah Park Geun Hye dipenjara/lengserkan, yaitu Hwang Kyo Ahn, tapi mayoritas kader sampai tingkat ranting/akar rumput banyak yang suka terhadap beliau akhirnya beliau menang. Masyarakat mungkin terlepas kontroversi (meskipun keduanya sama-sama kontroversial antara LJM dan YSY), Yoon sendiri masih cenderung sangat getol terhadap kebenaran karena kiprah Kejaksaannya dan tidak melihat Partainya sekalipun Partai yang berhaluan Konservatif tersebut sudah dikenal sangat 'kotor' karena setiap Presidennya pasti masuk penjara karena korupsi. Makanya, justru agak unik dimana Yoon dianalogikan seperti Anies tapi datang ke Partai Oposisi (yang notabene lama memerintah), mungkin seperti Golkar tapi seolah bisa bersih karena mencalonkan sosok yang baik dan saat itu Partai Demokrat Korea juga sedang tidak baik-baik saja dan mengusung sosok yang demikian. Ibarat kata, mengingat keduanya kontroversial sekali. Pemilihan yang terbaik dari yang terburuk memang terjadi secara relevan pada kasus di Korea Selatan ini.

Intinya yang bisa disimpulkan adalah kemiripan yang terjadi adalah prahara di internal partai berkuasa pada saat itu, namun ada sedikit bumbu dimana sosok yang pernah di pemerintahan dipecat karena terlalu 'lurus' dan nyebrang ke oposan. Singkat cerita, sosok tersebut yang menang ditengah gonjang-ganjing Partai berkuasa saat itu. Serta, dari Petahana juga tidak sepenuhnya membantu situasi sekalipun itu adalah Partainya sendiri. Kalau di-Indonesiakan seperti kasus PDIP yang memang sedang hancur karena diisi elit yang 'menara gading', cenderung menghentam Presiden yang menjabat padahal karena dia lah PDIP kuat dan berkuasa, Presiden sosok idealis, kemudian Presiden mengangkat Menteri yang 'lurus' lalu dipecat dan nyebrang jadi Capres lawan yaitu semisal Golkar (menteri itu Anies atau Prabowo misal). Presiden condong dukung orang terdekatnya, yang justru disini adalah Puan dan DPP condong ke Ganjar dan yang dicapreskan adalah Ganjar. Ganjar vs Anies (atau Prabowo misal), tapi Jokowi tidak berbuat apa-apa untuk memenangkan Ganjar dengan minta Puan bantu dukung. Singkat cerita, prahara internal penguasa dan idealisnya sosok Capres Oposan sekalipun Oposan juga tak kalah kotor menguntungkan si Capres lawan. Anies yang menang dan Ganjar kalah. Kira-kira seperti itu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun