Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi Butuh Oposisi Bukan (Sekadar) Rekonsiliasi

3 Maret 2024   21:32 Diperbarui: 5 Maret 2024   02:46 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini juga dirasa tidak benar, bahwa sejatinya narasi atau emosi untuk berkuasa harus bisa diatur sedemikian rupa. Ingat, bahwa setiap mandat apapun yang kita capai, sebaik-baiknya itu manfaat dirasakan bukan setinggi-tingginya derajat yang akan kelak kita capai. Ini yang harus menjadi atensi bersama dalam mewujudkan Pemerintahan yang lebih demokratis lagi. 

Demokrasi harus ditunjukkan pada arah yang benar, yaitu etika yang menekankan pada sebaik-baiknya keterbukaan dan keleluasaan untuk saling menghidupkan keragaman pandangan, bukan sekedar membatasi dan menyamakan melainkan penghargaan seluas-luasnya kepada siapapun yang berbeda. 

Makanya, terus terang rekonsiliasi dalam hal ini juga dimaknai sebagai sebesar-besarnya legitimasi itu dibangun bahkan dari yang kalah demi kestabilan. 

Ujungnya jika semua terkesan mendapatkan kue, tentu tidak akan ada yang mengingatkan bilamana suatu saat akan ada jurang yang membelenggu. Karena semua terkesan kenyang dan terlena pada enaknya kue tersebut.

Intinya, Rekonsiliasi itu perlu, perdamaian dan persatuan dalam konteks general untuk tidak saling membenci dan menyerang, untuk tidak saling bermusuhan hanya karena kemarin kalah-menang dalam kontestasi. 

Semisal antara kubu yang menang dengan yang kalah tidak lantas saling berdebat dimana yang kalah merasa bahwa kontestasi ini curang dan yang menang merasa bahwa ia kini paling berkuasa. Begitu juga hal tersebut secara sistemik akan sebaliknya terjadi ketika yang menang sekarang akan kalah di hari kemudian. 

Tentu tidak elok bagi masa depan demokratisasi kedepan. Namun, tidak sepenuhnya baik juga ketika yang kalah 'ditundukkan' oleh narasi persatuan dengan bagi-bagi kekuasaan. 

Sebenarnya tidak perlu ada supermayoritas atau mungkin minoritas. Pemerintahan yang baik itu cukup perlu keseimbangan saja, mana yang oposisi secara solid serta mana yang koalisi solid. 

Oposisi solid dengan argumentasi kritis dan konkritnya mengingatkan dan membantu diskusi berpikir, menghadirkan alternatif rasional serta Koalisi Pemerintah solid adalah membuka ruang dan tidak alergi pada masukan, bahkan terus terang bisa membuka jalan dan komitmen untuk melaksanakan jalan tersebut dengan konsistensi. 

Kalau pakai hitungan kasar mungkin 60 persen koalisi Pemerintah sudah cukup, tidak perlu sampai 80-90 persen sementara Oposisi juga harus tangguh kalau perlu sampai 40 persen agar bisa sedikitnya didengar dan mempengaruhi laju dan arus pertaruhan pandangan. 

Serta perlu diingat, oposisi harus benar-benar menyatu dengan rakyat, dengan unsur mereka yang tidak terjamah dengan Pemerintah agar dijembatani, bukan sekedar begitu ada salah langsung 'dijual' untuk menjatuhkan yang memegang mandat sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun