Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Janji Ganjar Wujudkan Pemerintahan Efektif : Zaken Kabinet

14 Januari 2024   14:33 Diperbarui: 6 Februari 2024   15:39 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintahan Efektif dimulai dari tatakelola kabinet yang lebih komprehensif dan berorientasi kepada sisi teknokratis daripada politisnya. Jika kemarin Ganjar membuka peluang untuk penekanan kepada keterbukaan penilaian dan pengawasan secara kolaboratif dengan adanya KPI Menteri yang mana itu terbuka melalui platform yang sebenarnya akan secara berjenjang terbuka sehingga menjadi basis penilaian yang obyektif. Dalam segi pemenuhan kursi dalam Kabinet juga akan didorong secara profesional, mekanisme yang akan dibuka yaitu melalui sebuah bentukan Kabinet Zaken dimana berisi pada orientasi keahlian dan kepakaran yang seluas-luasnya didorong agar menciptakan Pemerintahan yang selain profesional juga teknokratis bersih. Bersih dalam arti bebas dari kepentingan 100 persen pada politik elektoral.

Janji Zaken Kabinet sebenarnya secara tersirat adalah gagasan perubahan alias Nawacita Jokowi yang mewujudkan Pemerintahan yang bersih melayani dimana ia saat itu 2014 hadir sebagai antitesa SBY yang mana SBY sendiri terlalu lamban dalam bekerja karena kabinet yang terlalu banyak porsi jatah politisi berbanding dengan profesionalnya. Sekalipun non partisan tapi mereka adalah orang-orang yang berperan penting dalam kemenangan suatu calon. Ini harus direformasi, sehingga dahulu janji Presiden Jokowi adalah Kabinet Ramping dan berorientasi pada Profesional. Awal-awal memang bagus dimana latar belakang Kabinet Jokowi-JK saat itu rerata adalah sosok-sosok praktisi atau teknokrat yang diluar kepentingan. Namun, lama kelamaan komposisi berubah manakala semua berlindung dibalik kepentingan partisan atas dasar keutuhan koalisi. Apalagi periode kedua. Berat

Berat karena lama kelamaan janji reformis populis tersebut rada sulit karena kepentingan politik di Parlemen juga yang minoritas, disisi lain ada tuntutan secara Regulasi di Parlemen yang harus ditunaikan dalam rangka memuluskan Agenda Besar Politik Pemerintahan Presiden. Periode kedua, memang Pemerintahan terkesan stabil, namun terlepas daripada itu gemuknya koalisi justru malah makin kewalahan membagi kue. Hanya saja, secara obyektif harus diakui Jokowi bisa mengendalikan itu semua sekalipun dia bukan Ketua Partai berbeda dengan SBY di 2009-2014 dimana gemuknya Koalisi dan gemuknya Kabinet Partisan membuat kerja tidak efisien, karena selalu gandrung akan kepentingan partisan masing-masing bahkan tiap Menteri bisa jadi tidak akur atas dasar nilai-nilai partainya sendiri. Ini yang kelak musti diubah

Harus diakui membentuk Kabinet Zaken memang terlalu populis, terlalu utopis tapi sebenarnya bisa saja diwujudkan pada political will yang komitmennya musti tinggi. Ganjar-Mahfud berjanji atas dasar keuntungan koalisi yang tidak terlalu besar. Namun, harus diakui bahwa jika dia menang pun dia akan mendapatkan posisi sama seperti Jokowi-JK yang mana Pemerintahan Minoritas sehingga musti deal-dealan dengan Kabinet lain. Ini juga yang harus dicerna oleh Tim Transisi. Makanya, PDIP merasa bahwa lama kelamaan sisi melangit dan membuminya pun tidak pasti. Lama kelamaan, harus diakui bahwa sisi-sisi fundamental tidak banyak berubah siapapun yang memerintah. Bayang-bayang politisasi kabinet sangat kentara makanya jelas sekali bahwa Presidensial rasa Parlementer memang terkadang merumitkan.

To the point, harus dipikirkan pula argumentasi mendesak manakala Presiden terpilih kelak akan berjanji secara reformis menata dan mengembalikan atau bahkan mengubah sesuatu yang dirasa menjadi residu dari reformasi itu sendiri. Semisal, jika ingin Zaken Kabinet juga porsi Kabinet juga musti dirampingkan, maka tuntutan untuk revisi UU Kementerian Negara harus diakomodir dimana tidak harus 34, jika bisa bekerja dengan 15 orang Menteri juga bagus. Lanjutkan saja. Atau jika perlu Perppu silakan karena ini berkaitan dengan beban fiskal yang harus dicegah dampaknya di kemudian hari (bisa jadi). Kemudian, mungkin skema mekanisme seperti Fit n Proper namun secara berjenjang ala-ala pengangkatan Pejabat Eselon juga perlu. Dimana ada Pansel Independen yang dibentuk Presiden pada masa tim transisi untuk menjaring nama selain tradisi ala Jokowi juga sudah bagus.

Tradisi untuk mengakomodir bahwa tim transisi  (kelak menjadi tim belakang Presiden) punya hak selektif yang mana harus independen, ini adalah misi beratnya. Jadi tidak ada kepentingan relawan. Presiden juga musti punya hak prerogatif tinggi untuk memastikan partai pengusung tidak cawe-cawe dalam portofolio. Ini misi beratnya, dan sebenarnya kalau bisa Zaken atau orientasi keahlian baik dalam praktisi dan teknokrat (akademisi) juga musti dipastikan di lembaga-lembaga lain seperti BUMN (pengisian Komisaris) sehingga revisi UU tsb juga perlu, berikut juga Lembaga-Lembaga Non Kementerian, agar fungsi Lembaga ini tidak menjadi 'penyedot' uang negara saja. Pilihannya sebenarnya simple, orang non partisan tapi betul-betul praktisi-akademisi atau orang partisan tapi non pengurus namun pure praktisi-akademisi tadi. Intinya berpatokan sama situ saja.

Mengingat sekali lagi, sekalipun non partisan, tidak selamanya itu pure profesional. Karena seperti sekarang atau Pemerintahan sebelumnya dimana nonpartisan itu ujungnya adalah bekas relawan yang notabene adalah kalangan pengusaha atau aktivis yang memang punya kontribusi atas pemenangan. Seharusnya memang yang expert di bidang itu. Tapi kalau cuma atas dasar bagi-bagi ya salah. Banyak kasus seperti itu. Ini musti jadi atensi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun