Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gagasan KTP Sakti Ganjar: Bukan Barang Baru, tapi Formula Selaras

22 Desember 2023   14:50 Diperbarui: 6 Februari 2024   20:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sudah lama memang saya tidak menulis, mengingat kesibukan baru di tempat baru. Namun memang masih ada ruang untuk aktif sebagai pengamat namun tidak lantas dituang dan menjadi perhatian bersama. Opini memang bebas dan tuntas, hanya saja belum dapat waktu yang pas. Barulah kali ini, saya di momentum ini juga menyatakan preferensi saya yang mungkin mengarah pada Ganjar dan Mahfud. 

Bukan soal ideologis, tapi soal teknokratis tanpa mau membandingkan lebih atau bahkan menjatuhkan yang lain karena semua adalah putra terbaik baik yang bertanding maupun sosok dibelakangnya. Saya respect kepada siapapun yang berusaha merawat demokrasi, dengan adu gagasan agar sama-sama masyarakat bisa menilai dengan baik dan buruknya secara obyektif. Saya paling suka dengan Ganjar Mahfud karena sosok yang hitam dan putih, dimana dia seimbang sesuai dengan angka 3 yaitu Persatuan Indonesia yaitu menyatukan antara gagasan keberlangsungan dengan gagasan perbaikan. Maksudnya mendukung segala kesuksesan pendahulu (petahana) dengan sebaik-baiknya dengan selaras dan cepat tentunya dengan semangat perbaikan dan penataan kembali paradigma yang jelas dan notabene memang selayaknya perlu sentuhan lebih. Tidak dalam merubah total atau lantas meneruskan begitu saja atas dasar engage lebih pada pendahulu.

Sedikit disclaimer dari saya, dan saya juga tidak ingin terlalu banyak menulis. Salah satu gagasan yang belakangan sedang disoroti oleh para pengamat termasuk saya bahwa memang arah politik gagasan memang sedang dimainkan bahwa dimana tiap-tiap Capres dan Cawapres apapun platformnya sedang mengarah pada sebuah karya yang ingin mereka tawarkan dan menjadi pembeda dari Pemerintahan sebelumnya, paling tidak yang selaras namun juga bisa menjawab sesuatu yang dirasa sangat gamblang saat ini. Jualan program lah istilahnya, dan sekaligus diolah agar bisa diterima oleh orang banyak. Tinggal tergantung mana yang paling realistis, demokrasi kan memang selayaknya mencerdaskan. DIbalik joget gemoy ala Prabowo dan Gibran mereka fokus jualan program makan siang dan susu gratis, kemudian dibalik platform kampanye Ubah Bareng yaitu Anies dengan 'Desak Anies' dan 'Slepet Imin' mereka ingin membuktikan bahwa mereka paling demokratis dan paling membuka ruang keadilan itulah esensi perubahannya. Kemudian, soal Ganjar dan Mahfud dimana dibalik 'kedukaan' mereka atas yang terjadi di MK, mereka sudah mulai move on dan mulai fokus pada jualan gagasan. Tidak lantas mempertentangkan yang lalu, bahwa mereka juga punya sesuatu yang bisa punya nilai jual. Apa itu?

KTP Sakti atau lebih pada program Integrasi Kependudukan secara Digital adalah gagasan yang terbaru. Sebenarnya bukan lantas baru, mengingat jika kita flashback bahwa sebenarnya ini adalah gagasan Prabowo-Sandi di 2019 (kalau masih ada yang ingat) bahwa mereka ingin menjadi antitesa (karena saat itu kontestasi memang paling sengit), Jokowi jualan banyak kartu maka Prabowo lawan dengan gagasan KTP dan saat itu Sandiaga paling banyak menggemborkan itu. Apalagi sekarang Sandi sudah bersama Ganjar-Mahfud sebagai Dewan Pakar. Saya paling ingat, bahwa di tengah-tengah debat, sedikit flashback di 2019 dimana Sandiaga jualan KTP Sakti, dimana daripada masyarakat miskin diganjar banyak kartu-kartu nyatanya tidak sepenuhnya berlaku mending dengan KTP Elektronik dikembangkan dan dipadatkan. Saya jadi ingat, jawaban dari Kyai Maruf saat itu bahwa memang kita bukan menolak efisiensi tapi kita persiapkan sepenuhnya jika sudah siap bahwa kartu-kartu itu akan jadi menyatu dalam Satu Data yaitu Super Apps, Big Data dan juga One Data untuk Indonesia, akhirnya bisa diakses dengan gadget, dan baru saja kita mendengar bahwa ada KTP Digital yaitu IKD yang sudah rilis dan tinggal masifkan saja. Ini adalah bagian dari Reformasi Birokrasi yang Handal itu. Justru, jika memang Ganjar menawarkan KTP Sakti yaitu dengan 1 KTP, bukan fokus fisiknya tapi Nomornya yaitu NIK maka semua akan dipermudah.

NIK yang ada sudah bertransformasi pula dalam Barcode yang termasuk dalam Super Apps Server didalam IKD, apalagi NIK juga sudah menyatu dengan Perpajakan atau NPWP sehingga tidak ada lagi nomor-nomor yang notabene jika tiap instansi memiliki banyak nomor, maka banyak data dan menggambarkan ego sektoral. Justru dari KTP Sakti atau Satu Data Indonesia, Ego Sektoral itu dibabat habis. Secara asumsi, bahwa setiap orang punya aspek data yang sama, tinggal dipastikan keamanannya. Kan sudah ada RUU PDP, tinggal implementasinya saja baik aturan turunan hingga memang fokus pelaksanaan semisal yang kita tahu akan ada Badan Independen untuk pengawasan data pribadi itu, agar segera dijalankan berikut dengan ketentuan sanksi didalamnya. Jadi Single System Administration itu bisa maksimal dan lancar, otomatis kepastian hukum berjalan. Justru selaras dengan IKD-nya Jokowi tadi. Semisal BPJS, kemudian ada Kartu Indonesia Pintar, Kartu Tani, Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako Murah (Jaring Pengaman Sosial) atau akses perbankan seperti KUR dan Prakerja akan semakin mudah. Esensinya adalah 1 data untuk semua, tidak berbeda-beda tiap institusi yang merepotkan. Bukan berarti mau eliminasi kartu, yang ada efisiensi kartu-kartu dalam super kartu. Terjadilah sinkronisasi dalam hal pendidikan-kesehatan, kemudian layanan administrasi hingga transaksi dan perbankan bahkan jelas perpajakan. Ibaratnya merapihkan semua demi mencegah celah. Kalau memang diseriuskan, IKD pun tidak sia-sia. Ibaratnya menyatukan data.

Jaman Jokowi sudah ada KTP Digital atau IKD, kemudian MPP juga Mall Pelayanan Publik dimana dalam 1 bangunan 1 pintu bahkan sudah ada hampir semua layanan publik dari berbagai instansi baik birokrasi maupun korporasi (BUMN) sampai ratusan yang dinasionalisasi menjadi MPP di seluruh Indonesia bahkan ditingkatkan jadi Mall Pelayanan Publik Digital dimana esensinya adalah Super Apps, yang mungkin akan terkoneksi dengan IKD tadi, atau mungkin KTP Sakti atau Satu Data Indonesia atau apapun. Kan enak, jika ada penyesuaian tinggal sinkronisasi saja dalam 1 HP. Ke MPP terdekat (taruhlah di Ibukota Kabupaten, harapannya sampai Kecamatan ada MPP) tinggal ambil fisik saja, proses sudah berjalan di Digital. Makanya Ganjar-Mahfud boleh juga, benar-benar berupaya mengurangi total celah dari birokrasi. Semoga saja memang ini adalah yang terbaik untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun