Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Beda TGB Beda Yusril sebagai Kuda Hitam Cawapres?

4 September 2023   21:00 Diperbarui: 4 September 2023   21:01 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Ketua Harian Partai Perindo yang notabene kini sebagai Partai Non Parlemen pendukung Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden. Yusril Ihza Mahendra, dikenal sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang kini mengusung Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden sejak beberapa waktu lalu. Keduanya dikenal sebagai sosok primadona, selain bursa Cawapres yang berasal dari kalangan kader partai Parlemen serta profesional atau tokoh nasional yang tidak berpartai. Sosok dari partai non parlemen bisa dipertimbangkan sebagai calon bukan hanya melihat pada hitungan elektoral kursinya namun diasumsikan bahwa mereka sendiri punya kharisma atau sebuah kapabilitas yang melekat dan dinilai mampu memperkuat calon Presiden yang bertanding, terlepas entitas partai politik mereka. Justru bukan tak mungkin jika sukses, partainya menerima efek ekor jas (Coattail) bahkan lolos ke Parlemen. Wallahualam.

To the point dengan alasan judul ini digembar-gemborkan yaitu beda diantara keduanya perkara merespon sebuah keseriusan dalam pertimbangan Calon Wakil Presiden untuk masing-masing Capres usungan. Lebih kepada dinamika emosional yang terjadi, yaitu melalui bursa atau nama-nama yang beredar diantara sosok Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto seperti biasa pasti ada respon yang beragam dari kalangan non partisan atau tokoh masyarakat sampai pada golongan partisan baik yang menjadi elit maupun fungsionaris biasa. Bahwa hal berkaitan dengan bursa pada akhirnya ada yang terkesan ditanggapi secara kalem dan rileks namanya juga dinamika politik based on survey namun ada yang terkesan 'rada' memaksa ya sekali lagi melalui database survey yang sudah diklaim sangat sahih menanggapi fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga membentuk opini dalam timeline Capres-Cawapres yang sangat fluktuatif ini. Siapa dia? 

Tuan Guru Bajang dalam merespon dirinya yang masuk dalam bursa Cawapres terkesan santai dan tidak menanggapi serius bahkan terlalu banyak berharap bahkan secara pribadi ia juga realistis mengingat partainya belum masuk Parlemen jadi fokus memenangkan Ganjar berikut memastikan Perindo dahulu masuk Parlemen agar bisa mengawal pemerintahan Ganjar Pranowo jika menjadi Presiden melalui Parlemen mengingat TGB juga nyaleg, jadi perjuangannya disitu dulu. Mungkin dipertimbangkan karena beliau juga mantan Gubernur sehingga dinilai punya kapabilitas selain muda jadi terkesan 'sefrekuensi'. Senada dengan sang 'Bos Partai' yaitu Hary Tanoesoedibjo, kebetulan beliau serahkan pada mekanisme Partai yang punya kursi saja. Disini HT tidak sedang dalam mengusulkan nama, sekalipun mungkin ada sedikit ruangnya apalagi HT dinilai sebagai sosok yang 'berduit' dan bisa jamin logistik tapi tidak berharap ruang baginya (parpolnya) untuk mendapat kuasa lebih = Cawapres. Dinamika di Ganjar mungkin bertolakbelakang dengan 1-1nya partai PPP yang dinilai punya kursi meski sedikit, sejak adanya Sandiaga Uno yang masuk dan jadi Ketua Bappilu. PPP terkesan punya daya tawar tinggi apalagi Sandi dinilai juga bisa menjamin logistik untuk kedepan maka lumrahnya terkesan 'dipaksa' baik dari fungsionaris dibawah hingga elit PPP untuk Sandiaga 'masuk' dalam rangka menyelamatkan PPP. PPP bisa naik kalau ada eksis di Pilpres (ada kadernya). Terkesan Harga Mati.

Cerita yang terjadi di Kubu Prabowo Subianto juga relatif berbeda dan menarik. Ternyata pertembungan antara peluang Ketua Umum atau Kader atau representasi tokoh yang diusul Parpol tidak terkesan antara Golkar yang memperjuangkan Airlangga Hartarto, kemudian PAN dengan Erick Thohir yang juga diusul Muhadjir Effendy. Ternyata, PBB juga rada 'jual mahal' dengan terkesan nekat mengusulkan Yusril Ihza Mahendra, bahkan bukan dari kalangan fungsionaris dan elitnya saja melainkan Yusril sendiri terkesan 'memaksa' atau rada berharap untuk dia bisa dipertimbangkan, dalam konteks ia sebagai intelektual bangsa dan dikenal sebagai pakar yang mungkin bisa banyak membantu apabila dia menjadi pendamping Prabowo. Jadi alasan rasional ditampilkan sekalipun tentu akan sangat sulit. Lha wong, Airlangga saja belum tentu dipertimbangkan, bahkan Muhaimin alias Cak Imin sebelum ke Anies juga begitu. Belum jaminan jadi. Non Parlemen tapi rasa partai besar. Bahkan PAN sendiri saja tidak sebegitunya, mengusulkan Zulkifli Hasan sebagai Cawapres, malah sosok non kader seperti Erick Thohir. Namun, satu hal yang perlu diapresiasi. Mungkin sempat ramai Fahri Hamzah dipertimbangkan karena Gelora sinyal ke Prabowo. Setelah deklarasi resmi Gelora ke Prabowo. Singkat cerita, Gelora juga sama halnya dengan Perindo, namun dengan ekstrem. Saat deklarasi, Fahri Hamzah menyatakan tidak akan jadi Bacawapres Prabowo, allout dukung siapapun Cawapresnya kedepan. 

Kalau dilihat memang nama-nama yang tampil cukup menarik sebenarnya. Kharisma keduanya terlihat dari rekam jejak alias sejak sejarahnya. Ambil positifnya saja, namanya juga sosialisasi dan berlangsung secara dinamis. Toh siapapun parpol yang menyatakan dukungan semua memang matang tapi tentunya terkesan mencair bukan? Yusril yang punya daya tawar tinggi dan terkesan ingin menjadi bagian dari sejarah yang lebih besar setelah lama meredup, berikut pula TGB yang ingin bangkit namun ia juga terkesan kalem karena realistis atau rasional bahwa 'modalnya' belum ada. Tapi itulah politik, dimana pasti ada yang berharap dan ada juga yang realistis. Yang penting, semua bisa berpaku pada kontribusi yang terbaik sebagai sosok yang kelak mampu memenangkan Capres dan Cawapresnya siapapun itu masing-masing. Maka demikian penting bahwa menyeimbangkan realistis dengan idealisme itu perlu karena kalau terlalu realistis mungkin malah terkesan stagnan dan tidak improvisasi namun jika terlalu idealisme malah 'ketinggian' dan malahan menyulitkan untuk dinamika kedepannya. Kita tunggu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun