Terus terang melihat para Menteri pada akhirnya memutuskan nyaleg di DPR RI (rata-rata memang di DPR RI, tak mungkin di DPRD), saya jadi rada boring bahkan terkesan pesimis soft landing Presiden Jokowi rada terhambat legacynya yang sebenarnya tinggal finishing. Secara teknis memang akan lancar, namun konkritnya malah dikhawatirkan pada 'tercemari' akibat kepentingan politis para Menterinya. Apalagi Menteri partisan alias kader sendiri juga berada pada portofolio yang sebenarnya tidak bisa dianggap remeh dalam mendukung program kerja selaras dengan visi misi Presiden.Â
Aturan toh juga tidak sepenuhnya melarang dan terkesan mencla-mencle. Ini problem sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimana sebenarnya ini lebih bagaimana mereka sebagai vote getting saja. Toh ujungnya bisa jadi mereka diangkat jadi Menteri lagi.Â
Contohnya? Saya menyoroti Menkumham Yasonna Laoly yang saat 2019 sudah pernah nyaleg di Dapil Sumut I (Kota Medan, Tebing Tinggi, Deliserdang dan Serdang Bedagai). Beliau memang dinilai cukup berhasil menebalkan suara PDIP saat itu yang mana kalau tidak salah akhirnya bisa menambah 1 kursi DPR lagi selain suara partai yang cukup tinggi didapat dari pribadi seorang Yasonna yang memang sudah dikenal di Dapil tersebut. Mungkin memang kiprah partai beliau luar biasa, bisa terlihat semenjak dia nyaleg ada kenaikan. Lantas apa yang jadi masalah?Â
Sebenarnya kerja beliau juga biasa-biasa saja dan sedikit banyak kontroversi yang tak bisa dianggap remeh meskipun soal prestasi harus diakui banyak juga capaian yang perlu diapresiasi. Namun, ya namanya petugas partai dan saat itu mungkin kebutuhan partai bahwa Dapil yang juga selain mendorong Calon Presiden agar bisa meraup kemenangan juga suara partai harus meraih 'ekor jas' sehingga Menterinya Presiden juga diajak untuk 'turun gunung'. Make sense, masih masuk di nalar ketika partai berpikir demikian.
Cuma jadi agak bingung, seolah Menteri pada akhirnya menjadi sebuah posisi 'hadiah' juga dari partai sekalipun kita tahu bahwa Menteri adalah hak prerogatif Presiden tapi usulan dari kesepakatan partai koalisi juga dipertimbangkan secara matang oleh Presiden. Dimana bisa jadi sosok seperti Yasonna Laoly sudah berhasil memenangkan/meraih suara maksimal dalam pemenangan Presiden secara pribadi berikut juga soal partai yang notabene Presiden dan Menteri adalah sama.Â
Contoh pakai Yasonna Laoly saja ya, terlepas juga Presiden pasti punya banyak indikator dimana obyektif seorang Presiden beliau masih dibutuhkan dalam portofolio yang sama seperti periode pertama, kedua dipakai lagi. 2024 beliau nyaleg lagi di dapil yang sama dan bersama Menteri dan Wakil Menteri lain.Â
Semisal kalau Menteri dari Nasdem ada Menkominfo sekaligus Sekjen Johnny G Plate di NTT I dan Mentan Syahrul Yasin Limpo di Sulsel I, kemudian Mendes PDTT dan Menaker yaitu Abdul Halim Iskandar (kakak kandung Muhaimin Iskandar) dan Ida Fauziyah dari PKB yang masing-masing nyaleg dari Dapil Jatim VIII dan DKI II, PAN juga dimana Mendag yang sekaligus Ketum Zulkifli Hasan dari Jateng I.Â
Bukan tidak mungkin akan ada Menteri lain yang mendadak memutuskan nyaleg. Toh DCS masih bisa diubah lagi di Juli 2023 sebelum ditetapkan jadi DCT November 2023 yang sebenarnya tidak ngaruh karena Menteri tidak harus mundur seperti Kepala Daerah (yang tak kalah ramai juga).Â
Namun itulah politik, dimana kaki sudah merasa bahwa tidak bisa melangkah jauh jalan satu-satunya apalagi jika Presiden pilihan koalisi sang Menteri tidak lolos yang mana kecil harapan mereka dikaryakan di Eksekutif, ya 'kembali' berjuang lagi menjadi wakil rakyat. Hanya mengandalkan bicara (parle) bukan eksekusi selayaknya seorang decision maker. Apapun itu semoga mereka tidak asal 'janji surga' juga. Ingat rakyat sudah makin cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H