Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penerima KJP Dicabut Jika Merokok. Pengawasannya? Solusinya?

10 Mei 2023   12:30 Diperbarui: 10 Mei 2023   12:36 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartu Jakarta Pintar (Foto by Web Pemprov DKI Jakarta)

Seperti judul diawal Pj Gubernur DKI menegaskan bahwa KJP adalah salah satu skema atau sistem dalam rangka memastikan anak-anak mampu cerdas dan berkualitas. Jika KJP sendiri digunakan untuk hal yang merugikan dan bertentangan dengan kebaikan selayaknya memang dicabut bukan hanya soal bagaimana pelanggaran telah dilakukan. Kira-kira seperti itu yang menjadi keraguan dan keprihatinan yang terjadi dikala investasi sumber daya manusia melalui kebijakan ini justru menimbulkan sebuah fallacy atau lack yang lumayan besar dan secara pribadi perlu kita lihat pula apa yang sebenarnya salah. Dari judul diatas sudah disorot dan isyaratnya perkara bagaimana pengawasan yang kian hari kian lemah padahal uang rakyat lho ini dipercayakan. 

Di tengah maraknya program bantuan sosial yang notabene dalam rangka memastikan tumbuh kembang anak di Jakarta sebagai Ibukota bisa berjalan dengan sebaik-baiknya yaitu usia sekolah supaya bukan hanya pendidikan terjamin namun memastikan kebutuhannya terkait dengan sumber daya yang tangguh berkualitas bisa layak diberi. Kira-kira sedikit banyaknya itu mengapa Kartu Jakarta Pintar itu dicanangkan pada saat Gubernur DKI Jakarta saat itu yaitu Joko Widodo melakukannya. Ketika Joko Widodo naik sebagai Presiden, akhirnya program KJP juga menjadi inspirasi bagaimana ia mendorong KIP alias Kartu Indonesia Pintar yang berbasis dengan Himbara (kalau KJP kan dengan Bank Daerah yaitu DKI). Dengan adanya bantuan beasiswa bukan sekedar akademik namun kebutuhan penunjangnya diharapkan angka putus sekolah juga bisa terlampaui. Setelah sebelumnya di masa kepemimpinan SBY, ada program yang namanya Bidikmisi yaitu seperti Beasiswa juga untuk masyarakat tidak mampu (awalnya untuk PTN) kini bisa untuk PTS. Ketika di masa kepemimpinan Presiden Jokowi ditransformasikan menjadi KIP Kuliah yang mana extension dari KIP yang disalurkan untuk anak usia sekolah, dan jumlahnya juga ditambah dimana untuk biaya hidup ketika Bidikmisi sama rata 700ribu per bulan yang bisa dicairkan kini bisa lebih besar disesuaikan dengan lokasi penerima manfaat (bisa 1-2 juta rupiah digunakan) dan bisa jadi mendapatkan diskon untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan akademik (biasanya jika menggunakan skema gesek kartu, karena KIP = debit).

Hingga pada akhirnya Kartu ini menjadi plus di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak 2017 hingga 2022 lalu memberikan berbagai terobosan salah satunya adalah memberikan keleluasaan pencairan uang tunai bagi pengguna Kartu Jakarta Pintar yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai semi-bansos karena bisa mencakup kebutuhan yang hampir pasti tidak berkaitan dengan pendidikan melainkan menjamin kebutuhan keluarga dimana pada prinsipnya memang KJP didorong untuk masyarakat yang kurang mampu dan masih bersekolah supaya bisa terjamin kesejahteraannya dalam kebutuhan bukan sekedar sekolah. Bahkan bukan hanya sekolah negeri saja melainkan swasta juga bisa, bahkan fasilitasnya bisa untuk menanggung sebagian SPP bagi sekolah swasta yang sekiranya juga menerima siswa untuk KJP (walau belum semua). Kira-kira fasilitasnya baik langsung maupun tak langsung begitu ya. Misalkan tak langsungnya datang ke tempat wisata seperti museum hingga naik angkutan seperti Transjakarta gratis.

To the point saja, Bayangkan kasarannya kalau tidak salah 850ribu siswa penerima manfaat menerima bantuan ini yaitu dianggarkan sebesar kurang lebih 5 Triliun Rupiah dengan rincian setiap bulannya untuk SD senilai 250ribu rupiah termasuk subsidi SPP (bagi yang swasta) 130ribu berarti manfaat diterima 380ribu. Kemudian untuk SMP yaitu senilai 300ribu dan subsidi SPP 170ribu = 470ribu. Untuk SMA 420ribu dan subsidi SPP 290ribu = 730ribu. SMK senilai 420ribu dan subsidi SPP 250ribu = 670ribu. Mereka menerima Kartu Bank DKI berikut buku tabungan layaknya bantuan dan data mereka juga disinkronkan dalam DTKS atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dikelola oleh Kemensos (Pusat) demi memastikan bahwa mereka adalah siswa yang berasal dari KK yang kurang mampu. Lantas masalah dimulai ketika ada plus itu, dimana yang menjadi kesalahan bantuan itu bisa dicairkan meski per bulan hanya boleh 100ribu batasan. Bahkan kalau tidak salah selama Covid bisa dicairkan full sebagai semi-bansos Lantas seperti diketahui bahwa jika bantuan tersebut bisa dicairkan apalagi untuk anak usia sekolah sekalipun, literasi keuangan mereka masih minim dan belum bijaksana maka rentan disalahgunakan. Maka demikian itulah yang menjadi kritisi jika KJP sendiri rentan digunakan tidak sebagaimana mestinya baik diantara para murid maupun orang tua juga. Kalau murid entah beli rokok, miras, kosmetik, maupun voucher game kini orang tua malah bisa beli perhiasan ditabung-tabung atau bahkan cicilan barang konsumtif yang unfaedah lainnya. Ya makanya salah

Maka demikian, solusi memaksimalkan pengawasan Ialah dengan mengembalikan lagi pemanfaatan KJP Plus menjadi Non Tunai. Oke tiap tahun tiap kepemimpinan akan ada penambahan item diselaraskan dengan zaman. Semisal di awal KJP tidak boleh beli sembako sekarang boleh, kemudian tidak boleh beli pakaian sekarang boleh, tidak boleh beli pulsa atau kuota internet sekarang boleh, tidak boleh beli makanan enak bahkan mainan yang sebenarnya korelasi dengan kreativitas juga boleh yang awalnya tidak, dan tiap tahun item pembelian bisa semakin bertambah makanya dinamakan semi bansos. Beli gadget cash maupun kredit malah dapat potongan, berikut juga berbagai kebutuhan lain. Tapi seyogyanya jangan diuangkan ketika mengetahui bahwa mentalitas konsumtif masyarakat masih sangat tinggi. Maaf dikata masyarakat meski susah hidupnya tapi jiwa makelarnya masih ada. Ini yang menjadi masalah, apalagi tujuan awalnya adalah investasi anak untuk kedepan lebih baik, lebih bahagia. Kalau sudah bisa dicairkan nyaris esensi tanggungjawab pemerintah hilang, tidak bisa dipastikan itu uang bakal apa. Apalagi Gubernur DKI di masa Anies Baswedan sendiri berkata selayaknya bantuan ini digunakan karena berkorelasi pada orang miskin (entah narasi populis atau tidak) jangan digencar dengan tepat manfaat namun tepat guna karena mereka pada dasarnya bukan orang berpunya. Harusnya rasional. Pastikan juga bahwa mereka bisa bijak menggunakannya. 

Korelasi dengan KIP Kuliah kenapa pada akhirnya bisa dicairkan? Setidaknya mahasiswa/i sedikit banyak lebih matang dalam penggunaan uang tunai. Biasanya untuk indekos atau ongkos transportasi. Meski sebenarnya saya rasa hampir sama saja. Mungkin ada baiknya kalau bisa perlahan didorong ke non tunai (balik debit kartu atau QRIS). Bisa, meski bertahap di kota besar dulu baru ke kota kecil. Tapi ini adalah prinsip akuntabilitas serta demi mendukung Gerakan Pembayaran Non Tunai (Cashless Society) apalagi anak muda yang pakai gadget sedang gandrung dengan E-Wallet mungkin bisa dikerjasamakan dengan E-Wallet dan setiap E-Wallet yang terkoneksi dengan bantuan apapun namanya KJP maupun KJMU untuk Mahasiswa berikut KIP dan KIP-K untuk Mahasiswa diarahkan kesitu. Mengapa? Ini juga bentuk pertanggungjawaban, dan syukur-syukur bisa banyak potongan jika E-Walletnya juga terkoneksi dengan data pengguna bantuan yang ada dalam DTKS. Semisal si anak punya E Wallet dan bayar menggunakan E-Wallet namun karena dia terdata sebagai penerima KIP/KJP, yang mana bantuan itu dipakai untuk top-up E-Walletnya bisa terkontrol dengan baik, jika beli buku dapat diskon tapi jika beli barang konsumtif seperti voucher game tak dapat diproses, jika beli miras atau rokok langsung diblokir alias nonaktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun