Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebahagiaan Ala Masyarakat Indonesia, Bukan Ukuran Dunia Hanya Sederhana

28 Maret 2023   10:00 Diperbarui: 28 Maret 2023   10:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebahagiaan sejatinya berlaku secara relativitas. Tiada basis nilai yang mutlak atau absolut dalam menentukan ukuran sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya dalam masing-masing individu. Terus terang dengan adanya indeks kebahagiaan seolah saya berpikir bahwa kebahagiaan sejatinya ialah mutlak milik negara maju tidak sepenuhnya benar setelah saya melihat Indeks Kebahagiaan yang berada dalam entitas negara seperti Indonesia. Justru Provinsi yang nyatanya tidak kapital karena didalamnya tidak banyak industrialisasi dicap sebagai Provinsi yang Bahagia. 

Sebenarnya berlaku sama jika melihat pada data Indeks Kebahagiaan Dunia ketika yang termuat ialah negara yang mungil meski secara pendapatan per kapita termasuk golongan tinggi (makanya bisa dibilang maju) coba berbanding dengan negara maju lainnya yang bahkan dianggap sebagai Adidaya atau Superpower. Apakah mereka bahagia? Tidak sepenuhnya benar bukan, maka demikian perlu adanya pemahaman bahwa kaya bukan berarti bahagia bahkan sebenarnya indikator yang ada perlu dikalibrasi dan diselaraskan dengan relevansi yang ada di sebuah negara, wabil khusus bicara kelompok masyarakat atau konsepsi individu memahami sebuah kebahagiaan itu sendiri. Makanya dibilang relatif toh bahagia adalah subyektivitas. 

Kebahagiaan nyatanya tidak menuntut pada hal-hal yang sangat elegan bahkan utopia. Bahagia bukan seperti kita memiliki segalanya, bisa menguasai dan mendominasi segalanya. Itu namanya bukan bahagia tapi tirani, dimana justru kalau bahagia hanya individualis jatuhnya bukan manfaat bukan maslahat. Tapi justru egoisme yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam bersosial sebagai seorang manusia. Lagian kalau berbicara soal kekayaan tidak selamanya orang yang kaya juga merasa bahagia dan merasa hidupnya berkualitas dan sebaliknya jika ada orang miskin dan susah untuk sekedar mencari sesuap nasi bukan berarti mereka sedang kesusahan. Makanya metodologi yang berlaku dalam menentukan sebuah kebahagiaan lebih aplikatif bilamana melihat pada sikap sosial yang berorientasi pada harapan hidup. 

Ingat sekali lagi, lebih relevan menentukan sebuah kebahagiaan ialah berbicara soal harapan hidup dimana setiap orang sebenarnya diharapkan bisa panjang umur bahkan masih kuat untuk melakukan aktivitas produktif bahkan usia jadinya hanya sebatas angka. Sebenarnya kalau secara analisa pribadi memang hal tersebut berkaitan pada kebahagiaan, bukan pada konteks materi. Ingat bahwa seseorang bisa panjang umur bukan semata karena duitnya, toh semua tidak bisa ternilai dengan uang (sekalipun semuanya butuh uang). Hanya saja lebih pada konteks moril apabila uang berguna untuk melampaui segala bentuk upaya mencapai kebahagiaan yang sebenarnya sederhana akan lebih relevan. Daripada uang orientasinya hanya materi dan duniawi. 

Maka demikian, bagaimana sebenarnya kebahagiaan ala masyarakat Indonesia dijelaskan? Cukup sederhana, ini juga harusnya menjadi patokan dalam melihat secara konstruksi sosial humaniora bukan pada gagasan secara politik. Bicara kemiskinan berlaku ketidakbahagiaan. Ini menjadi preseden buruk, justru kalau dia miskin namun setidaknya bisa makan 3 kali sehari meski hanya sederhana. 

Saya rasa dia juga bisa bahagia karena kemandiriannya, karena masih punya semangat dan harapan bahwa dia bisa menyambung hidup. Seperti yang pernah saya baca, kalau di Yogyakarta nyatanya masyarakat pendatang saja yang mengeluh perkara UMR yang sangat kecil berbanding Jakarta. Namun apabila berlaku kesyukuran atas segala yang diberi, dan sebenarnya segala sesuatunya masih bisa terjangkau dengan mudah meski tidak bisa menjadi 'kaya' saya rasa orang sudah bisa dikatakan berlaku bahagia. Toh, hiruk pikuk di Jakarta tidak bisa diakomodir dengan sebanyak-banyaknya materi. Kan tidak juga, apa pembangunan infrastruktur secara fisik akan selalu berkorelasi dengan kebahagiaan? Kan tidak juga karena perspektif seperti itu juga berlaku secara relatif dan subyektif dimana memang ada kemudahan namun korelasinya akan berlaku pula kepadatan yang sebenarnya juga menjadi beban. Begitu juga dengan yang berlaku dalam konteks Dunia, apa lantas negara Eropa Barat yang kaya bahkan sudah dikenal sebagai Imperialis seperti Inggris dan Perancis bahagia? Berbanding dengan negara Skandinavia yang lebih kecil seperti Finlandia dan juga Norwegia, sama-sama maju namun tidak begitu Superpower lah. Hanya saja Skandinavia cenderung berhasil menstabilkan 'suhu' dibanding Eropa Barat. Karena apa? 

Kecukupan dan kemapanan tidak bisa membeli segalanya apabila tidak dibarengi dengan rasa kesetiakawanan sosial. Kembali pada konteks Jakarta dan Yogyakarta, coba lihat masyarakat di Jakarta punya pendapatan lebih tinggi malah semakin tertekan bahkan egois terhadap sekitarannya berbanding dengan di Yogyakarta yang notabene pendapatan lebih kecil namun masih bisa memikirkan serta mengingat bahwa dia punya tanggungjawab sosial. Kurang lebih konteks Dunia seperti itu juga. 

Bisa disimpulkan jika memang Kebahagiaan ialah indeks yang dicipta oleh Kapitalis. Saya rasa jangan terlalu dipercaya karena Kebahagiaan yang muncul justru semu, cenderung egois. Karena Kapitalis ialah ejawantah dari Imperialis dan Feodalis. Semua didorong untuk maju dan produktif tapi tidak diajak untuk kembali pada kodrat bahwa mereka harus menghargai dan bersetiakawan sosial kepada yang lainnya. Toh sebenarnya kebahagiaan yang ada ialah paradoks karena disatu sisi negara maju merasa dirinya bahagia namun dibalik itu hanya topeng menutupi beban berat mereka untuk sebenarnya terkesan 'maruk' menguasai segalanya. 

Sebaliknya kalau kita lakukan dengan penuh kebahagiaan, setidaknya kita tidak kesusahan dan merasa mandiri tidak harus menjadi besar. Saya rasa lebih bermakna. Sekali lagi kesejahteraan dan kemapanan belum tentu bahagia, hanya saja sebagian besar kebahagiaan juga timbul atas dasar kesejahteraan dan kemapanan. Makanya mungkin saja negara berpendapatan tinggi di Skandinavia mereka sudah selesai perkara ekonominya menjadi kapita tinggi, sekarang fokus mereka ialah pemerataan dan peningkatan kualitas hidup semisal pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Itu lebih relevan sebetulnya. 

Kalau di Indonesia sebaiknya begitu, fokus pada kearifan lokal kembali pada basis ketimuran untuk lebih menekankan pada keberagaman serta mendorong serta nilai-nilai yang berkaitan dengan budi pekerti dan juga kebebasan terhadap agama. Toh juga pembangunan ekonomi yang timbul menimbulkan kesenjangan dan akhirnya meningkatkan konflik sosial secara kriminalitas. Apabila muncul adanya saling tenggang rasa dan menghargai segala bentuk kemandirian yang dijamin atas dasar kecerdasan dan kesehatan bertambah. Saya rasa sudah lebih dari cukup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun