Judul awal dari opini diatas sangat sadis. Hanya saja bisa dipandang pada perspektif pragmatis dan realistis manakala melihat pada fenomena yang jauh lebih sadis dibanding upaya yang sejatinya perlu dilakukan oleh entitas sebuah negara.
Negara yang Merdeka dan berperan penuh dalam mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyatnya. Harapannya memang bukan utopis mengingat seperti berita yang beredar bahwa Parlemen halalkan 1001 cara bagaimana menolak UU yang Populis bagi rakyat namun tidak dengan wakil rakyat tersebut. Bahasa mudahnya sama saja berupaya untuk bunuh diri jika UU ini disahkan.
Hal ini disampaikan oleh Presiden melalui Menko Polhukam yang mewakili Pemerintah memperjuangkan UU yang sudah lama ini. Bagaimana tidak dikatakan bunuh diri ketika yang dipahami rakyat dan survey sudah membuktikan jelas bahwa lembaga yang koruptif ialah dari Parlemen itu sendiri. Masyarakat semakin dewasa tapi tidak dengan wakilnya yang selama ini justru berperan besar dalam 'sengsarakan' rakyat melalui kebijakannya.
UU KPK yang seharusnya semakin tegas dan bertaji malah lemah dan berpihak pada pelanggaran sudah cukup menjadi bukti. Dimana KPK sudah tidak kuat menahan arus politis dari para dewan yang 'potensial' tersebut. Potensial apa?
Silakan ditafsirkan sendiri. Bayangkan saja jika UU ini disahkan, tentu akan ada potensi aset yang tak terbayang pula bisa kembali lagi bukan sekedar yang 'dikorupsi' alias perkara kerugian uang negara sesuai putusan pengadilan namun sebelum putusan pengadilan harta yang sudah melekat maupun yang diduga-duga terkesan 'rahasia' bisa masuk begitu saja jika memang terbukti yang bersangkutan sudah melakukan 'Extraordinary Crime' seperti korupsi dan bukan hanya itu saja namun narkoba, perdagangan orang, dsb.
Apalagi jika dibuktikan pada mekanisme LHKPN dimana ada kenaikan harta tidak wajar pula yang ditimbulkan dari segala bentuk kejahatan yang sudah dilakukan selama ini umpamanya jelas para aparatur negara. So pasti bisa langsung disita begitu saja karena berpotensi timbulkan kerugian negara dari yang diperhitungkan awal.
Semua berpaku pada responsivitas sebuah negara dalam memastikan bahwa jangan sampai ada ketimpangan sosial yang berlaku dan bermuara pada ketidakpercayaan dan ketidakpastian akibat tidak adanya transparansi yang berlaku karena banyaknya rakyat yang tamak.
Itulah sifat manusiawi yang buruk hingga sekarang. Miris sekali, tapi itulah gejala yang timbul karena maraknya kapitalisme dimana persaingan itu sangat kejam bahkan menggerus ketidakadilan tidak terkecuali dikalangan 'pelayan rakyat' yang malah bertransformasi menjadi 'pencuri rakyat'.
Kembali kepada judul besar yaitu soal kepastian yang akan berlaku seterusnya. Sebenarnya UU ini bilamana disahkan akan sangat efektif dalam membuka 'kotak pandora' yang ada dalam rangka memastikan agenda Reformasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Jelas bahwa Reformasi belum selesai, masih berjalan bahkan cenderung diberangus oleh siapapun yang mengatasnamakan Reformasi namun 'bermain' didalamnya.
Makanya memang perkara harta dunia sangat menggelapkan semuanya, jujur bahwa setiap rezim akan 'menikmati' apa yang terjadi seperti ini. Tindak pidana yang sangat besar dan merugikan keuangan negara bahkan bukan sebatas korupsi namun sangat kompleks dalam rangka merusak generasi muda dan juga membuat kemiskinan secara struktural. Kebijakan yang ada terkesan kurang menjawab tantangan bahkan menimbulkan kesenjangan yang justru merusak tatanan sosial. Melalui UU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Tidak menutup kemungkinan jika akan ada UU Pembuktian Terbalik Harta dimana siapapun yang ingin menjadi pelayan harus setia dan taat dengan integritas nya untuk lebih transparan melaporkan semua transaksi serta laporan keuangan dan kekayaan bukan hanya soal penerimaan yang ia dapatkan namun kesesuaian dengan yang didapat seperti aset serta pelaporan terhadap perpajakan sebagaimana masyarakat pada umumnya.