Argumen terbersit melihat politik masa kini jika melihat proses pengambilan keputusan di Parlemen. Semua saling beradu kepentingan agak sulit untuk seia sekata, ujungnya substansi dasar bela rakyat jadi pudar. Terkesan demokrasi saat ini lama-lama jadi bagi-bagi kue pembangunan. Karena sistem Fraksi ini yang jauh dari Demokratisasi. Baik saya jelaskan berdasar yang saya pahami.Â
Sistem Fraksi alias pengkotak-kotakan yang mewakili kepentingan Partai Politik, dimana setiap Fraksi mewakili semua anggota yang ada di dalamnya. Misalkan saja ada Fraksi PDIP dimana setiap anggota didalamnya sudah pasti mewakili suara PDIP dan dianggap sebagai satu suara, keputusan tetap di satu yaitu Fraksi bukan orang per orang. Memang cukup berbeda ketika kita mendengar pengambilan keputusan di Demokrasi terlepas itu Parlementer atau Presidensial, nyatanya walaupun sistemnya adalah Multipartai semua masih menegaskan hak yang sama kepada masing-masing anggotanya untuk berpandangan bukannya malah direduksi menjadi keputusan Fraksi. Seolah ini aneh, apakah ini yang dinamakan sebagai Transformasi antara Fusi menjadi Fraksi. Kita tahu masa Orba, ada Fusi yaitu pengkotak-kotakan Partai menjadi Gabungan Partai yang notabene menjadi Partai besar, contohnya ada PNI dll menjadi PDI, Partai Islam menjadi PPP, dan juga Golongan Kekaryaan baik SOKSI, Kosgoro menjadi Golkar. Intinya 3. Dimasa Reformasi sekarang ini, memang ada kebebasan rakyat untuk mendirikan Partai Politik sebagai Pilar Demokrasi, namun jika sistem Fraksi berlaku seolah Partai dituntut setara, bukan beragam dan saling menghargai yang mana justru jauh dari Demokratisasi. Akhirnya Multi-Party seolah semu karena malah melanggengkan kronisme namun dengan banyaknya Partai dibentuk bukan Kepentingan yang diakomodirnya.Â
Sikap saya tegas, Sistem Fraksi memang tidak diatur eksplisit dalam UUD 1945, hanya ditegaskan dalam UU Pemilu hingga UU MD3 dimana Fraksi mewakili Partai yang berkuasa dalam Parlemen. Kalau di Daerah ada gabungan ketika kursi per kursi Partai cenderung sedikit mengingat anggota DPRD kan sedikit. Dengan demikian, sejatinya semua harus diubah dari orientasi One Party One Vote menjadi One Man One Vote sama halnya Pemilu langsung untuk memilih siapa yang mewakili kita di Parlemen. Paradoksnya dimana? Jadi, selama ini kan terkesan aneh begitu rakyat milih seorang Caleg dan otomatis terpilih sebagai DPR, ketika di Pengambilan Keputusan untuk meluluskan UU. Sebenarnya, sang anggota yang notabene benar-benar tidak setuju apalagi aspirasi dibawah banyak yang menolak namun oleh karena keputusan Fraksi melalui 1-2 orang, dianggap lulus/setuju. Lebih buruknya jika di dalam suatu Fraksi ada 50 orang, hanya 3 orang setuju tapi 1 diantaranya adalah Ketua Umum atau lebih anehnya sebenarnya semua anggota tidak setuju tapi karena Invisible Hand yang mempengaruhi Ketua Umum sehingga Ketum minta semua di Fraksi DPR justru berbalik mendukung. Apa layak wakil rakyat begitu kalau memang praktiknya demikian?
Bayangkan, jika Fraksi only decided by preferensi ketua Umum or sosok yang berpengaruh disitu, tidak langsung melalui ujug-ujug diskusi dimana tiap orang diberi suara atas perbedaan dengan alasan yang tentu sudah dipertimbangkan. Tapi hanya karena kepatuhan partai, semua didorong untuk tunduk sesuai ketetapan. Yang kasihan rakyat bukan? Maka demikian, Perwakilan Rakyat tidak sepenuhnya berjalan. Sepantasnya musti diubah. Back to sistem Barat (Demokrasi Modern). Ini eksperimen yang jauh dari Reformasi. Kalau Threshold tidak masalah, wajar harus ada fit and proper melalui kekuatan suara partai tersebut (semakin besar semakin legitimate) or maybe basically tidak diperlukan juga. Dimana ujungnya Partai kecil juga ikut andil, walau tidak bisa bentuk Fraksi alias only punya 1 wakil, namun beliau represent Dapilnya not Party-nya. Bisa jadi suara kecil itu as a Backbencher alias Confidence-Supply, bisa dukung bisa tidak (netral). Tidak dikotomi Oposisi dan Pemerintah. Andaikan PDIP memenangkan 300 dari 575 kursi Dewan alias lebih dari 50 persen, jika pakai sistem Fraksi tidak akan berguna karena tetap dihitung 1 Fraksi hadapi Partai lain yang berbeda seperti Golkar, PPP, Nasdem dsb. Namun jika, ditinjau dari sistem Single to Single Vote yah tentunya PDIP akan menang karena voting based on member. Implikasi selanjutnya?
Demokrasi akan lebih cerdas karena tidak ada pembagian kue. Gara-gara sistem Fraksi tadi, walaupun seorang Presiden menang 60 persen, kemudian Partainya pun menang sampai diatas 50 persen justru tidak berguna kalau tidak gotong royong dengan Partai kecil. Tetap saja mengusung kerja sama dan tentu harus memberi jatah Menteri yang transaksional apalagi sampai ke portofolio dan jumlah. Pasti berabe, dan harus ada kesepakatan soal regulasi-legislasi kompleks (dengan dalih kesepakatan bersama). Yang kasihan, jatah profesional di eksekutif dan legislasi yang murni mengacu pada Civil Society akan semakin jauh.Â
Hemat saya, lebih baik Sistem diganti lah dari Fraksi ke Single to Single. Presiden pun tidak akan ribet untuk memberikan kuota untuk Kabinet, bisa jadi mau Zaken pun (pure Profesional semua dimana hanya 3-10 yang partai) enak karena dia hanya pegang 1 Partai. Kalau urusan di Parlemen, dia juga stabil karena 1 Partai sudah mewakili Mayoritas umumnya. Jadi tidak usah bargaining/kompromi lagi (kecuali kalau memang ingin seimbang or check-balances tidak masalah). Bukan jadi malah cawe-cawe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H