Perdana Menteri. Posisi yang populer dan telah lama hilang namun bisa kembali lagi sebagai daya tawar
Sejenak terbayang ketika Indonesia kembali menerapkan posisi Perdana Menteri seperti jaman UUDS 50 lalu, bedanya jaman UUDS murni Parlementer, Presiden notabene hanya sebagai simbol dan bukan orang partai, hanya dipilih berdasarkan Majelis Tinggi (MPR/Senate) berisi Utusan Daerah dan Elemen Masyarakat, murni Negarawan bukan soal Demokrasi.Â
Jadi tidak berhak mengatur Politik sama sekali. PM adalah pemimpin Demokrasi ditentukan oleh Pemilu dan kursi di DPR dan membentuk koalisi Pemerintahan jika mayoritas 50%+1. Karena anggota Kabinet = Anggota Parlemen. Contohnya India hari ini. Jadi yang benar-benar menentukan urusan negara secara keseluruhan atau de factonya adalah PM
Bayangan saya berbeda tentang posisi Perdana Menteri, contohnya negara Semi Presidensial di Prancis. Presiden tetap Kepala Negara yang dipilih lewat proses Pemilu.Â
Tetapi setelah itu melantik PM sebagai Kepala Pemerintahan di mana dia adalah Koordinator Kabinet dan mengambil posisi eksekutor kebijakan strategis-administratif rutin (ada pembagian semacam Presiden Direktur-Managing Director di Perusahaan atau Ketua Umum dan Ketua Harian di Organisasi sesuai konstitusi).Â
Perdana Menteri adalah satu kesatuan dalam Kabinet. Ketika Perdana Menteri dicopot, Kabinet bubar dan perlu dirombak ulang (terlepas sama atau tidak), berdasarkan persetujuan Parlemen. Maka demikian, PM dan Kabinet diambil dari Partai Koalisi Presiden umumnya meski Profesional nonpartisan.Â
Presiden masih memegang posisi yang krusial berkaitan soal Undang-Undang atau urusan wajib keluar (eksternal) dan disebut Politik tingkat tinggi. PM lebih banyak membumi dengan urusan teknis atau manajemen sehari-hari
Jika Indonesia menjadi Semi-Presidensial. Saya rasa sudah ada sosok yang tepat untuk memimpin posisi Perdana Menteri. Siapakah gerangan? Biar waktu yang akan menjawab. Tergantung siapa pun yang kedepan akan memenangkan kontestasi di 2024 dan berniat untuk mengatur Konstitusi agar memberi ruang adanya posisi Perdana Menteri.Â
Mengingat, posisi Perdana Menteri memiliki sebuah kekuatan atau pengaruh menentukan kebijakan yang menjadi kepentingan besar yang akan dicapai oleh tiap pihak yang berperan didalam kontestasi Pemilu saat ini.Â
Mudahnya kita juga bisa mengamati bahwa daya tawar itu terutama tidak menutup kemungkinan membumikan kembali posisi yang dinilai tidak demokratis bisa muncul atas dasar mengakomodir kepentingan. Yakni, semua bisa mendapatkan porsinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H