Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Gagasan BPJS Tanpa Kelas. Mencoba Sosialis dengan Realistis

25 Februari 2023   18:00 Diperbarui: 27 Februari 2023   07:34 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Seketika mendengar BPJS ingin menghapus kelas 1, 2 dan 3 jadi tinggal PBI (ditanggung Pemerintah) dan juga Umum berarti BPJS terkesan ingin menghadirkan sebuah kebijakan yang setara dan mempertimbangkan idealisasi dari fungsi negara sesungguhnya, paling tidak warga Indonesia tidak perlu repot guna memastikan mereka terjamin untuk pelayanan kesehatan dasarnya. 

Kalau yang saya baca, mereka mengambil konsepsi jalan tengah ya semacam lebih rendah dari kelas 1 tapi lebih tinggi dari kelas 2. Bisa jadi berpengaruh pada kualitas yang mungkin saja lebih baik dan memang harus diapresiasi mengingat dominan masyarakat saat ini adalah pengguna kelas III termasuk yang PBI pun secara asumsi mereka juga dilayani dengan standar kelas III. 

Kalau naik terutama dalam penggunaan fasilitas kesehatan terhadap penyakit tertentu yang diklaim sangat besar tentu sangat membantu. 

Mengingat, BPJS memang menjadi ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ sekalipun kita musti membayar diawal yaitu iuran bulanan untuk mendapat fasilitas tersebut. Tapi tak apalah, bayar tidak seberapa tapi manfaatnya sudah setara dengan mereka yang membayar mahal. 

Saya ingat sekali bahwa setelah ada BPJS Kesehatan semua menjadi lebih ringan, hanya saja untung saya tidak pernah masuk rumah sakit untuk perkara dirawat secara intensif, dsb.

Tapi terus terang, saya juga memperhitungkan amal dari situ begitu saya menyumbang, banyak yang tertolong. Bagus juga, apalagi kalau cakupan atau coverage dari BPJS ini bisa tercapai secara maksimal, otomatis tercipta konsepsi bahwa negara juga sudah menyamaratakan kesempatan kepada setiap warganya untuk menerima layanan kesehatan yang sesuai. 

Bisa jadi konsep UHC alias Universal Health Coverage dapat berjalan maksimal apalagi kalau cakupan untuk PBI bisa ditambah, dimana kalau tidak salah tahun ini rencananya akan dinaikkan menjadi 100 juta peserta dari yang sebelumnya kurang dari 90 juta. Bagus, namun memang kembali lagi peran Pemerintah jangan cuma mengobati. Ingat mencegah lebih baik daripada mengobati, terobosan dan kolaborasi guna memastikan potensi penyakit bisa dicegah juga sangat baik. Sebenarnya belajar saja dari fenomena Covid-19 sama halnya Singapura dan Taiwan belajar dari SARS awal abad ke 21. Mereka (sama halnya Indonesia) langsung gerak cepat mentransformasi layanan kesehatan mereka agar selain setara dan seimbang juga berkualitas). Investasi yang sangat abadi diatas segala-galanya adalah Kesehatan, karena Sehat itu Mahal.

Sehat itu mahal dan menimbulkan kesan setara memang terkesan seperti Sosialis. Mendengar kata ‘tanpa kelas’ saya juga jadi teringat ada narasi rumah sakit tanpa kelas. Pernah ada di sebuah kota mereka mencanangkan RSU mereka sebagai tanpa kelas yaitu gedungnya dan fasilitasnya khusus untuk mereka tanpa kelas, setara dengan kelas III (asumsinya standar minimum namun layak) dan pentingnya bisa mencakup banyak. Harapannya sistem asuransi sosial kesehatan seperti BPJS juga berperan seperti itu, secara esensial menurut saya yang perlu dipangkas adalah birokrasinya. Terobosan seperti JKN Mobile sudah bagus melalui online bisa real time dan juga lebih cepat juga tertangani bahkan sudah menjelma sebagai super app Kesehatan, terintegrasi dengan PeduliLindungi yang sebentar akan menjadi SatuSehat, jadi seperti aplikasi screening kesehatan layaknya skema yang berjalan di Singapura yaitu keterpaduan layanan kesehatan berbasis informasi teknologi memudahkan juga fasilitas kesehatan untuk bergerak cepat memastikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan. Intinya kalau untuk kesehatan memang harus begitu, realistis saja tidak usah muluk-muluk soal bagaimana sarana prasarana berikut tenaga yang bekerja dimaksimalkan namun pastikan juga layanan itu benar-benar sampai dengan maksimal. Itu merupakan sebuah gagasan yang pasti. Semoga saja KRIS BPJS bisa berkomitmen untuk memastikan bahwa transformasi kesehatan itu benar-benar sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jangan sampai disia-siakan karena KRIS BPJS juga mempertaruhkan pada kepercayaan masyarakat dan dunia terhadap sistem kesehatan nasional kita. Mengingat kembali lagi dengan kata mahal, bahwa sehat dan kepercayaan ialah sama mahalnya. Negara musti lebih progresif sekalipun memiliki rasa sosial atau sosialis memastikan sehat itu bisa menjadi keberlanjutan dan keberlanjutan memiliki dampak pada tingginya rasa kepercayaan masyarakat sehingga apapun yang berjalan semua memiliki legitimasi yang kuat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun