Posisi Menteri memang berbeda dengan posisi pejabat publik lainnya. Menteri adalah jabatan yang ditunjuk atas dasar naluri atau preferensi politik dari seorang pimpinan. Mereka ditunjuk atas dasar hak yang dinamakan prerogatif alias hak yang diberikan kepada siapa yang berkuasa atas mandat yang diberi rakyat.Â
Presiden selaku Kepala Pemerintahan punya tanggungjawab penuh untuk menyusun jajaran pembantu-nya karena modal kepercayaan sudah dipegang melalui pemilihan umum dan biarlah kepala pemerintahan secara obyektif diberi kesempatan untuk menunjuk sosok yang tepat.Â
Menteri bukan pejabat karir yang semua dilihat atas dasar track record menduduki posisi dalam sebuah birokrasi. Melainkan kurang lebih melihat komposisi partai politik yang mengusung dan sama-sama berkuasa dalam sebuah bingkai pemerintahan.Â
Begitu tunjuk, selesai dan tak ada syarat khusus untuk itu. Bahkan tak ibaratnya berpendidikan rendah (kita pernah memiliki pengalaman seperti itu) bisa menjadi Menteri selagi Presiden berkehendak, asalkan dengan catatan memang tidak pernah mengalami catatan kriminal tertentu dan sudah dibuktikan oleh catatan kepolisian maupun pengadilan, yang sudah inkrah dan menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih. Hanya saja lain cerita jika memang suatu saat pun pengadilan membuktikan bahwa tidak ada kesalahan atau direhabilitasi bahkan menerima amnesti dari Kepala Negara otomatis sudah diputihkan. Semudah itu memang, sebenarnya asal dikenal Presiden dan Presiden punya obyektivitas sendiri yang sebenarnya tidak begitu demokratis bagi beberapa pihak. Makanya terkesan bahwa bagi-bagi kursi itu tidak bisa dipungkiri, namanya juga demokrasi setiap orang juga berpendapat bahwa apa yang terjadi memang seleluasa itu dan kita juga belum tahu pasti apakah mereka bisa berbuat yang terbaik.Â
Melalui uraian singkat ini, penulis berpandangan memang harus ada sistem check and balances yang bukan hanya dibuka pada saat proses pemerintahan dikala para Menteri alias pembantu Presiden menjalankan mandat yang diberi atas dasar konstitusi tersebut melainkan ibarat sebuah penyakit, tak ada salahnya apabila proses pencegahan atas segala potensi yang ada bahkan berkorelasi pada kompetensi secara rill seseorang untuk memimpin perlu dipertimbangkan bukan?Â
Makanya agak heran juga bilamana sebagian jabatan diberikan proses yang seberapa rumitnya paling tidak melalui proses yang dilakukan Panitia Seleksi hingga Tim Penilai Akhir atau bahkan dengan DPR selaku representasi rakyat. Paling tidak kita tahu visi-misi mereka yang akan mereka bawa dan disesuaikan dengan Visi-Misi Presiden itu seperti apa?Â
Memang seperti yang kita tahu bahwa Menteri hanya melaksanakan arahan Presiden tadi dan tidak boleh lantas bertentangan, tapi kita juga perlu tahu apa yang akan mereka kerjakan secara garis besar pribadi mengingat terus terang seseorang sekalipun berada dibawah komando atasan pasti punya sudut pandang dan pemikiran yang berbeda untuk melakukan visi-misi.Â
Ibarat kata visi-misi itu dibahasakan seperti Rencana Kerja, Rencana Aksi, Rencana Strategi, dsb yang akan diusung jika mereka kelak ditunjuk sebagai Menteri. Memang, kalau tidak salah Presiden Jokowi kini agak lebih maju dalam sikap untuk memilih seorang Menteri ketika awal memerintah baik di periode pertama maupun kedua.Â
Kabarnya jika pada periode pertama dia selalu membuka ruang diskusi dengan tim transisinya kemudian waktu Periode kedua, sempat ada tim kecil yang didalamnya ada think-tankers atau sosok pemikir alias 'dibelakang layar' Presiden pada kampanye Periode kedua untuk memilih Menteri. Tapi sayangnya proses ini tertutup, harapannya seperti yang berjalan di negara Amerika Serikat, proses penunjukkan Secretary of Department alias Menteri Kabinet di Indonesia diberi keterbukaan dan rakyat bisa menilai sekalipun tidak sepenuhnya bisa mempengaruhi keputusan Panitia, Tim hingga DPR kelak.
Sebenarnya bisa berjalan proses seperti ini sama halnya dalam seleksi pemilihan Pimpinan Tinggi Madya alias Eselon I dimana proses dilakukan oleh Pansel Kementerian hingga Tim Penilai Akhir pimpinan Presiden, atau juga ketika pemilihan pejabat semacam Anggota Komisi, Anggota Badan, Komisioner, hingga Pejabat semacam TNI dan Polri. Khusus untuk Menteri bisa dipadukan antara keduanya.Â
Proses untuk menjaring sosok/nama yang akan menjadi Menteri bisa berjalan kurang lebih 2-3 bulan paling lama sebelum Pelantikan Presiden terpilih (terlepas petahana atau yang baru). Tim transisi menjaring kurang lebih 5 hingga 10 nama dimana umumnya nama yang beredar berdasarkan pada proses demokrasi diantara para pemilih, entah melalui polling atau survey, bisa saja itu titipan dari berbagai golongan tidak terkecuali partai dan Ormas, tidak masalah. Mereka diberikan kesempatan untuk mengikuti tahapan seleksi baik administrasi hingga kompetensi yang bisa disesuaikan yang pasti kuncinya tanggungjawab moral dan integritas mereka serta kemampuan yang didasarkan atas track record dinilai dengan baik.Â