Kemacetan sudah menjadi bagian dari kehidupan entah sebagai momok atau sebuah takdir dari Ibukota Jakarta. Statusnya sebagai Ibukota memang tak lama lagi, setelah posisinya akan tergantikan oleh IKN Nusantara di Pulau Kalimantan sana.Â
Tapi, terus terang macet pun takkan kunjung hilang bilamana Jakarta yang very strategic tersebut sudah menjelma menjadi Metropolitan ataupun Megapolitan karena sudah saling terkoneksi dengan penyangga di sekitarannya sekalipun mereka berbeda Provinsi.Â
Konkritnya bisa kita lihat pagi dan sore dari dan menuju Jakarta. Selalu saja seperti semut yang menuju sebuah donat manis, tiada habis arus itu muncul apalagi setelah Pandemi. Malah lebih parah daripada situasi sebelum Pandemi yang mana bisa jadi pertumbuhan penduduk di Jakarta saat ini memang sudah memasuki puncaknya terutama usia produktif yang beraktivitas untuk mencari penghidupan disini.Â
Sekalipun, kita ketahui bahwa Jakarta sudah semakin sempit atas lahan permukiman dan menyebabkan harga yang semakin mahal membuat masyarakat menepi ke penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Tapi Jakarta tetap menjadi magnet bagi mereka untuk hidup.Â
Makanya kasihan sekali jika kita mendengar istilah bahwa penyangga hanya djcap sebagai 'Kota Numpang Tidur', hanya ramai di jam istirahat saja. Bahkan pernah ada riset muncul mengatakan seperti di Kota Bekasi, 60 persen warganya yang tinggal disana baik KTP Bekasi maupun non KTP Bekasi sehari-harinya beraktivitas di Jakarta sehingga menyisakan sekitar 40 persen saja di Kota Bekasi pada pagi ke sore hari. Lantas apa maknanya bagi Jakarta?
Berarti Jakarta sudah semakin over. Apabila penyangga kini sudah semakin bertumbuh dari segi jumlah penduduk. Sangat berdampak pada aktivitas di Jakarta. Pertumbuhan penduduk di Jakarta saja sudah sangat mengkhawatirkan bahkan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi karena jika tidak dimanage akan menjadi kemiskinan. Seperti yang kita tahu mayoritas penduduk adalah pendatang, begitu juga penyangga.Â
Kalau soal macet, ini berarti bahwa setiap pertumbuhan penduduk berimplikasi bagi pertumbuhan kendaraan pribadi. Sekalipun kita mengetahui bahwa tingginya okupansi angkutan umum belakangan ini terjadi mengingat tren ini lahir karena masyarakat ingin lebih mudah dan praktis untuk sampai ke tempat beraktivitas. Hanya saja, untuk kasus antara penyangga ke pusat kota sangat pelik dimana belum semua sisi diakomodir oleh angkutan umum yang nyaman dan layak.Â
Kasus ini berlaku di penyangga secara spesifik, dimana pilihan transportasi belum sebanyak di dalam kota Jakarta. Imbasnya, karena mayoritas pekerja di Jakarta juga dari pendatang, lebih baik membawa kendaraan pribadi adalah jalannya. Setiap keluarga apapun latar belakang ekonominya pasti memiliki dan mirisnya lagi pertumbuhan jalan.Â
Jangankan jalan di penyangga yang mungkin kita tahu tak selebar dan panjang jalan di Jakarta, masih sangat banyak di Jakarta sendiri jalan yang tidak se-ideal Sudirman-Thamrin yang secara awam kita tahu ideal menampung lonjakan kendaraan dari segala penjuru.Â
Tentu ini menjadi perhatian pemangku kepentingan, tak terkecuali Pemprov DKI yang memikirkan rumitnya mengatur jumlah masyarakat di pinggir kota (suburban) menuju pusat kota, kini dia harus menghadapi pula laju dari penyangga (luar kota) yang commute ke dalam/pusat kota. Kesimpulannya adalah membatasi kendaraan, berarti beralih ke kendaraan yang massal namun dilemanya adalah jalan kota yang tidak maksimal.Â
Jalan kota yang tidak maksimal terjadi karena semakin terbatasnya kemampuan Pemerintah untuk membangun jalan baru, idealnya sekelas jalan protokol arteri yang menghubungkan pusat aktivitas dengan aktivitas lainnya. Sementara kita ketahui bahwa ada transportasi yang juga mengandalkan jalan tersebut.Â
Kita ketahui di Jakarta ada Transjakarta baik BRT atau di dalam jalur, maupun yang diluar jalur (non BRT) seperti Metrotrans atau Low Deck, Minitrans atau Bus tiga perempat maupun Mikrotrans yang familiar dengan istilah Jaklingko yaitu upgrading dari Angkot.Â
Problemnya adalah menguraikan rute non BRT. Mereka berbaur dengan jalan raya kendaraan pribadi. Sementara mereka berusaha untuk bekerja secara efektif hanya saja tidak didukung oleh kemampuan jalan memberi ruang bagi mereka untuk laju.Â
Pusing bukan? Jadi ibaratnya, Pemerintah membatasi kendaraan pribadi dengan Gage dan rekayasa lalin guna mengalihkan ke kendaraan umum, sementara jalanan yang digunakan sebagai akses justru semakin terbatas. Terus terang, sebanyak apapun uang Jakarta takkan bisa akomodir pembangunan jalan sebesar di Sudirman-Thamrin yang baru, sebagai ruas baru setelah semua Jalan yang ada sudah 'dipagari' dengan ganjil--genap.Â
Sistem ini menjelma menjadi sistem prematur karena justru 'memuntahkan' kendaraan ke jalanan yang lebih kecil alias macetnya pindah. Meningkatkan jalan arteri non ganjil genap yang statusnya sekunder atau non arteri dimana rata-rata hanya 2 lane yang selebar kurang dari 10-15 meter.Â
Rata-rata hanya selebar 8 meter, berarti harus dilebarkan masing-masing 2-4 meter untuk menjadi arteri sekunder sekaligus jadikan 4 lane. Biayanya sangat mahal tentunya, terus terang tak sanggup juga menyoroti harga lahan yang tak wajar. Lantas apa solusinya?
Di tengah gencarnya Pemerintah Provinsi untuk menambah armada dan rute pengumpan sebagai dorongan agar masyarakat permukiman bisa mudah menuju ke Halte BRT atau Stasiun KRL dan MRT (kedepan juga LRT). Mereka juga kini memikirkan bahwa jalan permukiman secara lebar dan panjang tidak terlalu memadai. Sehingga, jalannya adalah meningkatkan status jalan tersebut.Â
Baru saja muncul berita bahwa Pemerintah Provinsi membangun 10 ruas jalan tembus di beberapa titik di 5 kota Jakarta yang mana terletak diantara simpulan antara jalan arteri satu menuju jalan arteri lainnya.Â
Terlepas itu protokol maupun sekunder. Jalan tersebut sejatinya merupakan jalan lingkungan (bukan MHT atau gang) yang selama ini kita tahu jalan tersebut cuma jadi tempat parkiran mobil masyarakat yang rumahnya berada di gang sempit seputaran ruas jalan tersebut.Â
Kedepannya, Pemerintah akan meningkatkan jalan tersebut agar bisa memiliki lebar ideal yang sebelumnya 4 meter menjadi 7-8 meter (tidak mungkin selebar arteri protokol karena lebih mahal) yang artinya hanya sebagian sisi rumah permukiman masyarakat saja seperti teras atau halaman yang dibebaskan.Â
Selanjutnya, jalan tersebut statusnya buntu karena biasanya diujung ada lahan kosong yang statusnya garapan alias milik Pemerintah. Ini keberuntungan bagi Pemerintah dan memudahkan mereka untuk melaju lakukan pembangunan, biasanya lahan kosong tersebut kalau tidak jadi pembuangan sampah, ya jadi parkiran dan biasanya terbatas dengan sungai atau kanal yang sebenarnya tersambung dengan jalan lingkungan lain. Artinya apa? Berarti jalan tersebut bisa tersambung hanya terbatas oleh tanah dan batas alam yaitu sungai/kanal.Â
Daripada terlihat kumuh, memang lahan garapan sebaiknya dioptimalkan menjadi aset yang berguna. Ini juga menjadi dambaan masyarakat sekitar, jalan tersebut ditingkatkan lalu disambungkan dan akhirnya bisa tembus ke jalan yang lain. Lebih efektif dan efisien mengingat jalan tembus tersebut memangkas waktu dan jarak tempuh antar jalan arteri di dekat jalan lingkungan tersebut.Â
Ibarat kata Pemprov membuat shortcut disini, jika dari Jalan A menuju Jalan B perlu menempuh 10 km selama 30 menit, jika di pertengahan jalan A ada jalan tembus yang tersambung dengan jalan B. Waktu tempuh bisa dipangkas kurang dari setengahnya, bisa 10 menit bahkan kurang, dengan jarak tempuh yang hanya sekitar 2 km. Solutif bukan?
Maka demikian, sudah betul memang Pemerintah melakukan langkah tersebut, bukan hanya perkara kemampuan. Namun realitanya bahwa sebenarnya banyak titik yang belum dirapah. Jujur saja, daripada Pemerintah lantas meningkatkan tol dalam kota layang yang justru malah memberikan ruang bagi kepadatan jalan sementara jalanan di Jakarta tidak semua punya lebar yang sama.Â
Akan menyulitkan tentunya untuk di kemudian hari terutama angkutan sekelas bus untuk melaju. Seperti yang kita tahu ada 6 ruas tol dalam kota yang akan terbangun dan katanya akan mengakomodir jalur untuk Bus diatasnya. Saya kira malah buang-buang duit. Nyatanya baru 1 ruas tol itupun 1 fase saja rumitnya setengah mati dan anggaran tak sedikit.Â
Bagaimana untuk ruas tol lainnya. Kasarnya jika dicompare dengan kebutuhan lain seperti memperbanyak angkutan umum tentu lebih berguna apalagi diberikan subsidi seringan-ringannya ditambah prasarana yang layak dan nyaman. Atau kalaupun musti bangun jalan, lebih baik optimalkan ke jalan yang masih belum terapah bukan? Seperti jalan lingkungan yang 10 ruas bahkan bisa lebih jika didalami lagi.Â
Bisa menjadi jalur alternatif pula bagi angkutan pengumpan berbasis lingkungan untuk melaju. Selanjutnya apabila jalan lingkungan sudah terbangun menjadi jalan yang layak untuk angkutan pengumpan. Fleksibel bagi Pemerintah Daerah untuk membatasi dari dalam kepemilikan maupun penggunaan kendaraan pribadi, karena jelas. Angkutan sudah mudah masuk ke permukiman.Â
DARIPADA FOKUS JALAN TOL, MENDING MAKSIMALKAN JALAN TEMBUS SAJA PLUS KENDARAAN UMUM DISINERGIKAN..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H