Belum lama sedang viral di jagat dunia maya mengenai Petani Milenial. Rasa penasaran menghantui seketika membuka narasi yang terkandung dalam tren yang muncul ternyata adalah sebuah polemik alias 'kegagalan' dari program yang sangat fenomenal tersebut.Â
Yang saya tahu sekilas ialah program ini lahir dari permasalahan di kalangan anak muda khususnya di Provinsi yang dikenal sebagai lumbung padi Nasional namun lumbung padi tersebut terancam 'hilang' dikarenakan generasi penerus tidak mau melanjutkan bahkan mengembangkan pertanian yang relevan di masa sekarang dengan harapan bahwa Lumbung Pangan Nasional itu tak berubah begitu saja menjadi Lumbung Besi atau Industri yang memang sudah sangat menjamur di Provinsi Jawa Barat.Â
Saya teringat kampanye mengenai program ini kurang lebih pada saat pandemi, yaitu prinsipnya ialah Pemerintah Provinsi ingin memastikan bahwa krisis pangan Nasional yang sebagian terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang akan muncul di masa yang akan datang sementara tidak dibarengi dengan ketahanan pangan diakibatkan krisis kesehatan di masa pandemi menghambat laju pertumbuhan pangan sehingga konsekuensi yang diambil Pemerintah Provinsi bergerak dengan menata kembali ruang lahan yang ada guna didorong menjadi pertanian.Â
Namun, yang menjadi masalah ialah ketika bonus demografi yang berjalan di Jabar bahkan sudah mulai memasuki puncak tidak dibarengi dengan pertumbuhan pertanian di Jabar. Wajar saja, sekalipun di provinsi ini ada Institut Pertanian, lantas lulusannya mayoritas tidak ada yang bertani, malah bekerja di sektor lain yang lebih 'rezeki'. Petani sekarang tidak seperti petani yang dulu, nyatanya memang menghadapi ironi dimana disisi lain semangat swasembada akan dihidupkan namun kita perlu realistis melihat bahwa pertumbuhan penduduk dan industri guna menyerap lapangan kerja seakan menjadi sebuah kontradiksi didalamnya.
Maka lahirlah gerakan ini bahkan belum lama juga gerakan ini memang sudah mencapai hasil yang setidaknya bisa menjadi sebuah prestasi ketika teringat juga muncul di suatu acara di stasiun TV berita swasta. Tentang pentingnya membangun minat anak muda untuk membangun kampung dengan bertani skala modern.Â
Seolah narasi yang muncul cenderung manis dimana menekankan pada narasi bahwa jembatan itu sudah ada, yaitu inovasi mulai dari pemilihan lahan yang potensial, kemudian peluang pasar, komoditas apa yang ditanam, proses pendataan dan pengembangan kapasitas dari pelaku pertanian hingga pada fasilitasi akan benih, bibit unggul, peralatan serta pestisidanya sampai pada skema pembiayaan dan jaminan untuk pemasarannya.
Semua based on technology, seperti yang kita tahu bahwa visi Jabar Juara selama ini selalu mengedepankan pada kekuatan teknologi dan digitalisasi dengan harapan bahwa langkah yang dilakukan berjalan secara presisi. Ingat sekali bahwa saat itu Pemprov sangat gencar mencari anak muda bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk turut serta dalam program pengabdian masyarakat ini yang tentu disambut baik karena saat krisis seperti ini memang pangan adalah sebuah bentuk kewajiban yang ditangani dan tentunya apabila dilakukan secara optimal lantas mampu menciptakan wirausaha wirausaha baru.Â
Prinsipnya adalah industrialisasi bukan sekedar pada jasa melainkan pertanian juga skalanya demikian.Â
Skema ini juga bekerjasama dengan BUMD yaitu PT Agro Jabar sebagai avalist kemudian menggandeng perusahaan-perusahaan swasta sebagai offtaker yang memberikan jaminan atas modal pertanian dan berjanji untuk mendampingi pemasarannya juga sama halnya program inkubator namun dalam konteks pertanian. Semua menggunakan APBD Jabar dibawah koordinasi Biro Perekonomian Provinsi. Begitu juga dengan akses permodalan dijamin oleh PT Bank BJB selaku Jasa Keuangannya. Namun apa daya, baru saja berjalan 2 tahun.Â
Masalah pun terjadi, ketika masing-masing stakeholders yang terkait hanya terkessan manis mendampingi di awal tapi begitu ada masalah didalamnya yaitu soal kepastian kebutuhan pertanian juga berjalan berikut proses tanam hingga panen bisa dipastikan berjalan baik sampai pada pemasarannya. Malah, mereka terkesan serampangan bahkan tidak terukur dimana jika ada masalah mereka saling lempar tanggungjawab ihwalnya sebuah birokrasi.Â
Bahkan karena proses atau mekanisme yang berjalan sembarang membuat adanya pemborosan dimana mereka juga sekalipun ada APBD musti modal dahulu yang mana itu adalah pinjaman dari Bank BJB itu sendiri. Ketika janji untuk memasarkan produk belum lagi soal menjamin kerugian yang terjadi akibat risiko-risiko pertanian untuk segera ditanggung tak kunjung diakomodir. Akhirnya yang menjadi kasihan adalah nasib para petani muda tersebut yang tak tahu harus bagaimana.Â