Kalau menurut saya alternatif adalah ERP itu bisa screening mana yang berhak dan tidak untuk ditarifkan, sekalipun disiapkan alat hanya terpotong nol saja cuma untuk scanning ibarat masyarakat naik Jaklingko dengan kartu cuma untuk tap tanpa saldo hangus. Sebaiknya memang demikian, disamping motor juga sudah menyemut dan berkontribusi terhadap polusi dan saatnya dikonversi dengan energi yang lebih ramah dan terbarukan.Â
Toh juga sekarang gencar-gencarnya bahkan muncul instruksi bahwa setiap titik dimulai dari gedung kantor dibuat SPKLU, andaikata kendaraan listrik masif kan tidak repot juga SPKLU dicari. Karena akan berbarengan dengan laju pertumbuhannya.
Dan saya juga mendukung kalau yang diprioritaskan adalah roda 2 dahulu kemudian bus barulah roda 4. Dengan harapan bahwa ada pemerataan dan ini menyangkut golongan ekonomi menengah kebawah. Begitu juga dengan ERP bahwa pertimbangan masyarakat menengah kebawah juga harus diperhatikan, selain juga mengakomodir penumpang angkutan umum yang eksisting agar tetap terjaga haknya ditengah kepadatan akibat yang roda 4 beralih ke angkutan umum bahkan sebagai kompensasi mereka mendapat diskon ketika rush hour.Â
Disisi lain para Ojol juga tetap terjaga manakala mereka bisa bekerja untuk mengantar penumpang dan barang yang sangat berarti bagi kegiatan ekonomi di jalan ERP, karena ada diskresi bahwa kendaraan listrik roda 2 tidak dikenakan biaya saat melewati jalan ERP.Â
Terus terang memang tidak populer bahkan bisa menggerus elektabilitas. Namun mengapa harus secepatnya, mumpung yang menjabat adalah birokrat yang ditunjuk bukan hasil Proses politik. Lebih baik lanjutkan saja, daripada cuma awang-awang sementara berbagai rekayasa lalu lintas lainnya sudah sangat prematur mengatasi kemacetan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H