Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies-AHY-AHER : Bung Karno-Hatta-Sjahrir Reborn? Posisi Perdana Menteri Reborn?

11 November 2022   08:40 Diperbarui: 11 November 2022   08:51 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teringat headline berita dan kemudian saya baca. Seorang elite dari partai Demokrat mengatakan bahwa pembicaraan Anies yang sekarang intens dengan AHY dan Aher mengingatkan dengan zaman Kemerdekaan dulu dimana Koalisi Perubahan dikorelasikan dengan semangat di masa lampau demi memelihara sebuah arti Kemerdekaan. Anies ditampilkan sebagai sosok pemikir seperti Bung Karno berbicara dengan AHY yang entah mengapa dikaitkan dengan Bung Hatta (mungkin saja harapan elit Demokrat, AHY bisa seperti Bung Hatta yang sangat concern terhadap nilai-nilai keadilan sosial di Bangsa ini), kemudian ada tokoh Sutan Sjahrir yang dikaitkan dengan sosok Aher yang intens juga dengan Anies dalam arti bagaimana membangun spirit kebangsaan dan kecintaan akan tanah air. Semata demi demokratisasi demi perubahan dan perbaikan terhadap rezim yang dicap 'kolonialis' oleh orang Demokrat ini. Menarik, mengingat ketiga tokoh tersebut yaitu Bung Karno-Hatta-Sjahrir adalah Founding Fathers bukan? Perintis Kemerdekaan, Perintis Perjuangan yang masih kita jalankan sampai sekarang. Tapi bukan itu yang ingin dibahas.

Kalau 2014 dulu teringat dengan 'personifikasi' ala Bung Karno-Bung Hatta melalui sosok seperti Jokowi dan JK, kalau tidak salah teringat ketika sosok dari PDIP berkata bahwa Jokowi sangat cocok seperti Bung Karno karena secara ideologis dia adalah seorang Marhaen, dia seorang tukang kayu yang tentunya berasal dan berjuang membangun dari bawah, sedangkan JK digambarkan seperti sosok Bung Hatta oleh karena ketokohannya yang dikenal membawa damai serta ahli dalam bidang ekonomi. Maklum Jokowi karena kader PDIP tentu sangat Soekarno-is, sedangkan JK adalah pelaku usaha meskipun nilainya jauh dari seorang Bung Hatta. 2019 kita tahu bahwa seorang Timses dari Prabowo-Sandi juga mengatakan bahwa Prabowo seperti Bung Karno oleh karena keberaniannya patriotiknya menentang pengaruh asing, di sisi lain ada Sandiaga yang digambarkan sebagai Bung Hatta masa kini. Bahkan sempat ramai karena dikritisi oleh sang cucu yang berkata dengan nada sindiran 'Bung Hatta Bapak Koperasi, Bung Sandi Bapak Korporasi. Bung Hatta hidup miskin membagi harta, Bung Sandi hidup mewah mengendap harta'. Tapi 2024, ada tambahan yaitu sosok Sjahrir. Sutan Sjahrir merupakan Perdana Menteri pertama di Indonesia (mengingat zaman dulu Demokrasi adalah Parlementer). Selama ini kita hanya tahu Presiden dan Wapres saja pemimpin di Negara ini, namun kita tidak tahu bahwa ada Perdana Menteri saat itu yang tidak kalah berperan. Lantas apa yang ingin disampaikan?

Kurang lebih seperti ini, sepertinya Demokrat dan PKS sedang merencanakan sesuatu yang 'gila' diantara keduanya bahkan bisa jadi belum diketahui oleh Nasdem. Dengan narasi seperti 3 serangkai ini ada anggapan bahwa demi memuluskan koalisi, perlu sosok orang ketiga dalam memperkuat Pemerintahan sang Capres yang diusung koalisi Perubahan. Bisa jadi menghidupkan kembali posisi semacam Perdana Menteri, meskipun yang kita tahu dalam kertas suara saja tidak ada posisi Perdana Menteri. Hanya RI1 dan RI2, tidak ada RI3 yang berarti Perdana Menteri. Sementara posisi ini sudah lama dibubarkan semenjak Republik ini kembali ke Negara Presidensial (Demokrasi Terpimpin) sejak Dekrit Presiden 1959 yang menandakan bahwa Soekarno juga memimpin selayaknya Perdana Menteri Kepala Pemerintahan. Tapi apakah akan efektif? Sementara lama kelamaan Posisi Perdana Menteri justru menggerus peran dari Wakil Presiden, sehingga kita sama-sama tahu 1956 seorang Bung Hatta berani mundur dari posisi tersebut dengan idealismenya merasa bahwa dia kurang diberi peran dalam membangun Negara yang baru saja Merdeka saat itu. Lagian benar juga seorang Bung Hatta, untuk apa sistem Parlementer jika Presiden hanya berperan sebagai simbol negara dan kekuasaan Pemerintahan bergantung Perdana Menteri yang membentuk-mengelola kabinet. Lalu Presiden membutuhkan seorang Wakil, lebih baik dia mundur dan toh saat itu sebagian besar tugas kenegaraan juga diserahkan kepada Konstituante.

Apa jadinya jika nanti Perdana Menteri dibutuhkan di masa sekarang? Mudahnya bisa belajar dari Perancis dimana sistem semi-presidensial berlaku, Presiden-Wapres punya peran besar kemudian ada Perdana Menteri yang bisa dibilang Kepala Pemerintahan namun urusan Pemerintahan justru masih diklaim ranahnya Kepala Negara. Perdana Menteri Perancis ditunjuk bukan seperti di India yang anggota Parlemen dan perlu suara mayoritas. Mungkin jika saya tidak salah, analogi yang ingin dibangun ketika kita tahu bahwa ada peran Ketua Harian dalam Organisasi. Ketua Harian umumnya berkutat pada tugas-tugas rutinitas, yang sifatnya administrasi dan dia hanya muncul sebagai eksekutor yang koordinir, seperti itulah Perdana Menteri dan so pasti ada pembagian kekuasaan terkait itu. Pejabat yang ditunjuk pun tidak harus dari Partai sebenarnya namun karena yang mengusulkan orang Partai, dia justru sangatlah ingin kadernya. Tidak usah susah-susah sang PM kampanye seperti Wapres, toh begitu Paslon tersebut menang, ditunjuklah PM untuk tugas tsb dan dialah yang berperan membentuk Kabinet sesuai usul Presiden dan Wapres kemudian dengan kebijaksanaan membentuk dan mengelolanya. Presiden masih dianggap krusial beserta Wakilnya (walau makin tergerus tentu posisinya) yaitu lebih ke tugas Negara yang besar dengan Politik tingkat tinggi dan urusannya eksternal dan berkenaan dengan Legislasi/UU. PM tetap lebih berperan karena dia 'Managing' dan 'Technical' affair.

Hanya saja akan cenderung berat karena berbiaya politik tinggi. Mengapa? Paling mudah pasti harus amandemen UUD mengingat negeri ini tidak mengatur jabatan Perdana Menteri serta musti berganti ke semi-Presidensial. Sementara terus terang jika koalisi Perubahan hanya 3 partai dengan sistem Parlemen yang kita tahu sudah berdasar jumlah fraksi juga masing-masing kursi tentunya perlu tambahan banyak lagi. Seperti 2/3 kursi DPR dan DPD yang sudah pasti tidak mungkin hanya 3 Partai + DPD, jika ada 9 Partai lolos pasti perlu tambahan 3-4 Partai lagi dan apakah mereka mau?. Sedangkan jika kedepannya mereka menang di DPR mereka pun tetap dianggap minoritas kok, belum tentu juga diantara ketiganya bisa masuk di 3 besar DPR, dan belum tentu juga ketiganya bisa meraup dengan mudah suara dari Partai lain. So pasti jangankan tantangan amandemen UUD, untuk meloloskan agenda legislasi UU saja akan sangatlah rumit.

Jadi pantaskah tawaran seperti ini diberlakukan oleh Koalisi Perubahan tersebut? Siapa yang cocok jadi Wapres dan siapa yang cocok jadi PM? Biar waktu menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun