Keberhasilan hubungan percintaan itu harus memenuhi unsur setujuan, sepaham, setaraf/sejajar baik intelektual, budi dan akhlaknya. Bila salah satu melebihi lainnya, maka yang lebih pintar akan dengan terpaksa terus menggurui dan memimpin.. karena hidup berkolaborasi konsekwensinya harus ada yang memimpin dan dipimpin. Â
Tapi berhubung lingkupnya adalah dunia percintaan maka segalanya serba pakai perasaan. Berakibat pihak yang dipimpin bisa sedikit sedikit langsung tersinggung dan sedikit sedikit jadi minder terutama apalagi bila dia justru pihak laki-lakinya, karena pada dasarnya keadaan telah memaksa menyalahi kodratnya.
Dia akan mudah merasa tertekan, terzolimi dan dalam lubuk hatinya akan tumbuh bibit-bibit dendam. Maka hubungan percintaan yang terbangun akan njomplang, berjarak, tak nyaman, dingin dan kemudian  membeku. Sampai disitu maka hubungan suami istri akan diberi cap  ‘awet rajet’ (istilah orang sunda) yang kira-kira maknanya terlihat seperti yang rukun padahal berantakkan.
Kalau saja hubungan 'awet rajet' ini bisa bertahan, maka rumah tangga akan terus terselamatkan sampai maut memisahkan mereka.., dan mereka akan mendapat medali, penghargaan luar biasa karena sesungguhnya menjalani hari perhari dengan pasangan hidup satu atap yang didasari banyak ketidak puasan atau kekecewaan itu tidaklah mudah.Â
Tapi ada yang mengalami ujian maha berat, misalnya satu ketika si terzolimi ditaksir dan disunting konglomerat yang kebetulan bisa menarik hatinya.. misalkan dari; seorang pemilik hotel, pemilik taksi, pemilik kost2an atau punya hektaran tanah, perkebunan dll. Maka serta merta dia akan merasa menemukan harga dirinya..Â
Tiba-tiba dia jadi bertaring, bertanduk lalu nyeruduk membalas dendam dari tumpukkan perasaan tertekannya yang telah terpupuk bertahun-tahun.. Jangan heran bila akan dengan mudahnya pasangan hidup yang telah berjuang dan berkorban belasan bahkan puluhan tahun akan ditinggalkan begitu saja tanpa dihargai lagi. Tak ada yang tak mungkin bagi seseorang dengan keterbatasan akhlak dan budi pekertinya, hal-hal tak terduga akan mampu dia lakukan.Â
Siapa yang salah? Tentu si pemimpin gadungan dengan lantang akan bilang; “sesungguhnya aku sama sekali tak tertarik untuk memimpin karena sangat tahu kodratku! Tapi ketika kursi kepemimpinan selalu kulihat dikosongkan terus maka kuambil alih. Sebabnya? Sebuah bahtera tak boleh berjalan tanpa nakhoda, bukan?
Banyak yang tak menyadari bahwa segala hal itu harus dibekali ilmunya.. bukan hanya jadi pilot, jadi dokter atau Insinyur, mengarungi samudera kehidupan rumah tangga itu pun justru membutuhkan ilmu segudang! Minimal yang dasar-dasarnya, laki-laki itu harus memimpin dan lebih berwibawa. tentu dia haruslah berpenghasilan.
Kegagalan sesungguhnya selalu karena ternyata banyak yang tak benar-benar mengenali betul karakter pasangannya. terlalu menitik beratkan pada suka sama suka saja yang belum tentu 'saling' mencintai karena banyak pula rumah tangga yang timpang, yang satu cinta yang satu belum tau dia cinta apa tidak. Â Ditambah lagi samasekali tanpa melihat keseimbangan latar belakang peradatan, budi pekerti, tata bahasa, cara berfikir dan hal-hal lebih penting lainnya, yang semua itu nantinya justru akan menjadi konsumsi dominan sehari-hari didalam menjalani kehidupan rumah tangganya.Â
Banyak sekali orang yang memutuskan berumah tangga itu karena pertimbangan-pertimbangan yang sebetulnya sangat berbahaya. Misalnya karena kepepet umur, desakan orang tua ingin cepat momong cucu, hingga karena alasan daripada ngga ada lagi aja!Â
Jadi, mungkin kesalahan pilihan jalan yang diambil itulah penyebab kegagalannya, bukan manusia-manusianya yang harus saling menyalahkan.Â