Sederhana saja. Kita berjuang setiap hari itu untuk bisa MAKAN. Bagi yang telah mampu/ mapan bisa rutin tiap hari makan, memang jadi hal sederhana dan murah dibanding kebutuhan beli perhiasan, mobil, rumah dsb. Tapi kita tdk akan mati tanpa benda2 mewah, sedangkan kalau tak makan kita akan mati!
Ada yang seringkali keasyikan kerja hingga lupa makan. Akibatnya badan gemetaran, kringat dingin dan kehabisan tenaga. Dan kalau besok-besoknya diteruskan tak makan-makan, Â dia akan mati lemas.
Lalu Tuhan lahirkan kita di negara ini, kok nggak di Afrika atau di Ethiopia? Padahal siapa yang tentukan lahir seseorang sebagai bangsa apa dan dimana? Apakah kita bisa memilih?
Tentu semua karena kuasa Allah... dan bersyukurlah bila kita tidak ditakdirkan lahir di negara yang identik dengan wabah kelaparan..
Bentuk syukur kita harus diteruskan dengan selalu tengok orang-orang malang kelaparan yang lahir dibelahan benua lain itu atau dimanapun juga, lalu kita harus ingat-ingat lagi sejarah.
Bagaimana perjuangan Rasul sebagai manusia yang dicintai Allah, ketika sering sekali hanya mengikatkan sepotong batu pada perutnya agar rasa lapar bisa tertahan. Dan pernah suatu ketika Nabi mendapati kurma di jalan, beliau berkata: "Kalau seandainya aku tidak khawatir kurma ini dari shadaqoh, niscaya aku akan memakannya.." dan bahkan kekasih-kekasih Allah beserta para pengikutnya sering diuji dengan kehabisan makanan dimedan perjuangan.
Makanan yang tak habis dan sengaja dibuang kurasa akan menjerit dia.. karena dia begitu berharga di belahan bumi yang lain, kalau sengaja dibuang padahal masih layak maka padanya ada unsur menyia-nyiakan nikmat Allah dan tidak mensyukurinya.
Lantas manusia-manusia yang diberi ujian kelebihan dan kemudahan makanan tidak bisakah peka/sensitif, jika selalu melihat makanan yang dipiringnya seringkali tak habis, pernahkah menelusuri kemana perjalanan sisa makanan tsb. Apa artinya mereka dibuang sia2? Jika iya sudah berapa kwintal/ton yang telah dibuang percuma bila kita terlalu sering melakukan kebiasaan tsb?
Tidakkah ketika kita diwajibkan berucap hamdallah mensyukuri nikmatnya kenyang tapi sambil sesekali mengingat pula mereka yang lapar, sedih dan seperti tak menghargai mengingat mereka yang bergelut dengan terik, keringat bercucurannya para petani yang menggarap sawah ladang demi memenuhi permintaan kita sebagai pihak yang membutuhkan..dan sekian banyak manusia yang mengarungi kejamnya dunia demi sesuap nasi...
Apakah etika agama juga mengharuskan kita berusaha memanage takaran mengisi piring itu harus disesuaikan dengan kemampuan/kapasitas perut kita?
Nabi dengan pesannya yang terkenal ‘berhentilah makan sebelum kenyang’ mau kita artikan apa? Apakah artinya berhenti makan sebelum makanan dipiring itu habis lalu dibuang? Atau takarlah makanan dipiringmu secukupnya saja?