Indonesia dikenal sebagai negara pesisir, dengan hasil laut yang sangat beragam. Sekitar tahun 1964 -1970, budidaya ikan dan udang melalui tambak tradisional mulai digeluti oleh masyarakat. Tambak dianggap sebagai ladang emas karena mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Berlomba -- lomba masyarakat membuka hutan mangrove, mengalihfungsikannya menjadi tambak. Hingga kini, kegiatan budidaya tambak telah berjalan secara turun -- temurun, namun masalah mulai terjadi penurunan kualitas ikan dan udang yang ada ditambak menurun, ancaman abrasi dan intrusi air laut mulai terjadi hal ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem mangrove yang ada di wilayah pesisir.Â
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional tahun 2021, Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3,36 juta hektar. Namun masyarakat justru melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak, maupun pemukiman. Delta Mahakam, provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya memiliki tambak. Pengelolaan tambak di wilayah ini menggunakan teknik tradisional dengan mengandalkan pasang surut air. Namun, masyarakat mengeluhkan menurunnya hasil produksi tambak, menurunnya kualitas air dan munculnya hama pada tambak.Â
 Hal ini menjadi perhatian Prof. Dr. Esti H. Hardi, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Mulawarman, untuk mengoptimalkan pemulihan lingkungan berbasis masyarakat. "Kami melakukan identifikasi terhadap tambak yang ada di Delta Mahakam.  Hasilnya, tambak yang dikelola masyarakat masih menggunakan metode tradisional, dengan mengandalkan pasang surut air.  Melalui program Kedaireka, kami bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk mengembangkan smart silvofishery di wilayah ini." Ucap Prof. Esti.Â
Smart silvofishery merupakan inovasi pengelolaan tambak yang mengedepankan pemulihan ekosistem mangrove, dengan memperhatikan produktivitas tambak berkualitas baik dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Dalam pelaksanaannya, smart silvofishery dilakukan di lahan polikultur yaitu budidaya secara multi spesies seperti udang, ikan, kepiting, dan rumput laut dalam satu wadah dan waktu. Mangrove ditanam secara bergerombol hanya di beberapa titik dalam tambak. Â Hasil penelitian menunjukan, hasil budidaya dari smart silvofishery memiliki kandungan asam amino, asam lemak, dan protein yang lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya tambak lainnya.Â
Kelompok Salo Sumbala merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menerapkan smart silvofishery, yang berlokasi di Desa Muara Badak Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur. Kelompok ini diberikan pelatihan terkait metode penanaman mangrove di dalam tambak hingga pembuatan pakan organik untuk budidaya ikan dan udang. Sempat diremehkan masyarakat setempat, namun kini Kelompok Salo Sumbala menjadi penyuluh masyarakat berbondong -- bondong untuk belajar teknik smart silvofishery.Â
Ramlan, Ketua Kelompok Salo Sumbala menceritakan pengalamannya menggunakan teknik silvofishery pada lahan tambak miliknya. "Awalnya, saya melihat pematang tambak saya mulai terkikis akibat pasang surut air di tambak. Saya mencoba untuk menanam mangrove di sepanjang pematang, hasilnya pematang tambak tidak terkena abrasi karena ditopang oleh mangrove. Setelah itu, saya mendapatkan pelatihan smart silvofishery BRGM dengan menanam kembali beberapa mangrove ke dalam tambak. Setelah beberapa waktu saya terkejut melihat hasil panen meningkat dari segi kuantitas dan kualitas ikan, bobotnya bertambah dan jauh lebih segar. Â Segera setelah panen, saya menceritakan hasil panen saya kepada petambak lain namun diragukan," ujar Ramlan.Â
Ramlan mengungkapkan, dirinya dianggap  aneh karena menanam kembali mangrove di dalam tambak. Masyarakat sekitar menganggap mangrove mengganggu saat panen tambak. Akarnya yang besar dan tinggi, menyulitkan petambak untuk melakukan panen. Meski diragukan, Ramlan tidak berhenti untuk mengajak masyarakat untuk melihat hasil tambaknya kepada petambak lainnya. Satu -- persatu para petambak diajarkan untuk menerapkan smart silvofishery pada tambak nelayan sekitar, hingga berhasil melaksanakan panen.Â
"Sekarang, masyarakat sudah bisa mengelola sendiri lahan tambaknya. Hasilnya pun memuaskan, pendapatan penduduk di Desa Muara Badak Ilir bertambah. Hasil ikan dari tambak, diolah oleh Ibu -- Ibu setempat untuk dikelola menjadi produk olahan seperti pengelolaan ikan tanpa duri dan pembuatan kerupuk amplaang khas Kalimantan Timur. Produk tersebut akan dipasarkan ke warung makan di kota Balikpapan. Â Selain itu, pemuda disini juga ikut berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove melalui smart silvofishery ini. Kesadaran dan rasa memiliki masyarakat mulai terbentuk," ucap Ramlan.Â
Feri salah satu pemuda di Desa Muara Badak Ilir mengatakan, "Dulu di desa ini, para pemuda mencari kerja harus keluar daerah. Kami merasa, dari tahun ke tahun hasil dari tambak selalu menurun. Karena hal ini, para pemuda mulai membentuk Ikatan Anak Nelayan, untuk membantu masyarakat pesisir meningkatkan hasil budidayanya melalui rehabilitasi mangrove menggunakan teknik smart silvofishery. Allhamdullilah, masyarakat menyadari manfaat mangrove dalam tambak, hasil panen meningkat,"tutup Feri.Â