Seorang investor bertemu dengan seorang kepala daerah dan mengutarakan hendak menginvest sekitar 30 juta dolar di kabupaten super premium, Labuan Bajo. Anda pasti kenal kota ini, yang disulap jadi cantik seiring penetapan oleh pemerintah  sebagai spot wisata Super Premium. Â
Ia (baca investor) menawarkan konsep pariwisata berbasis lingkungan hidup. Sedikit penjelasan yang ia sampaikan di hadapan kepala daerah itu, ia membeli puluhan hektar lahan dari masyarakat. Di atasnya akan dibangun rumah, dan rumah itu akan ditempati masyarakat.
Konsepnya, pemberdayaan kepada masyarakat. Karena curi2 nguping, seorang sahabat mencoba menjelaskan tapi sedikit menambah2. Si investor akan menggaji juga masyarakat lokal untuk mencari tripang.Â
Di wilayah sekitar Rangko dan deretan pantai di dekatnya, demikian si investor bilang, cukup banyak tripang. Iseng2 seorang teman mencari informasi harga tripang di pasaran dunia saat ini, ada yang sampai Rp.50 juta per kilogram. Bahkan ada satu jenis tripang, harganya sampai 100 juta per kilogram.
Ini sebenarnya hanya cerita kecil dari perbincangan malam itu. Investor itu mempunyai banyak program jga di daerah bernama premium itu. Saya berkelakar saat itu, HATI-HATI DENGAN INVESTOR BERBAJU PARIWISATA BERBASIS LINGKUNGAN HIDUP.
Mengapa? Karena sampe sekarang saya belum terlalu yakin dengan apa yang selalu orang dengungkan yakni PARIWISATA BERBASIS LINGKUNGAN HIDUP.
Para investor tahu, penolakan terbesar dan menjadi hambatan untuk bisnis dalam bentuk apa pun, adalah isu lingkungan hidup. Namun sejauh ini hanya satu baju bisnis yang tidak terlalu ditentang oleh pencinta lingkungan hidup adalah pariwisata.
Karena apa? Para masyarakat pencinta lingkungan hidup tertipu dengan slogan para pebisnis pariwisata, semisal ECO Wisata, atau apalah sebutannya, yang penting bajunya pake lingkungan hidup.
Kembali kepada cerita awal. Investor yang masuk di rumah pariwisata premium, tapi ternyata ia pebisnis tripang. Saya kurang paham dengan makhluk ini, tapi kalau ia masuk di dalam ekosistem laut, apakah mengeksploitasi barang ini tidak akan merusak ekosistem laut kita?
Saya punya keyakinan, investor yang datang ke rumah kita akan malu menggunakan baju bisnis. Mereka pakai baju Eko wisata, membangun pariwisata berbasis lingkungan. Tapi nyatanya justru datang untuk merusak lingkungan hidup.
Coba lihat vila2 di sekitar pegunungan Mbeliling, apakah membangun vila di gunung, dan berdalih tetap jaga pohon2nya itu yang dimaksud pariwisata pro lingkungan hidup? Atau kehadirannya di tmpt itu malah merusak lingkungan itu?