Tidak seperti kelahirannya yang pertama. Kelahiran yang keduanya ini, berproses begitu cepat. Tanpa bantuan siapa pun, hanya sekali saja ia membuka lebar selangkangannya, bayi laki-laki itu terjun keluar dari vagina ibunya.
Dalam kesenyapan malam di samping gereja itu, bayi itu bergegas bangun dari emperan gereja, merangkak, berdiri dan lalu berjalan.Â
Sementara ibunya kembali menjalankan aktivitas seperti biasa. Meneteng bukunya menuju tempat di mana ratusan anak akan menunggunya berdiri di depan kelas.
Mataku tidak bisa beralih dari bocah ajaib itu. Segera aku mendekatinya, dengan seribu tanya mengapa bocah yang baru saja satu jam dilahirkan itu bisa berjalan?
Ia menolak keras dipapah. Sambil menunjukan wajah geram, ia begitu percaya diri untuk berdiri lalu berjalan di tengah kegelapan subuh. Â Aku terus mengejarnya dengan batin terus bertanya, apa gerangan terjadi dengan bayi ini? Ia tak ubahnya anak puyuh yang baru menetas, berlari sesaat keluar dari cangkang telur.
Aku terus berusaha mengajaknya berkomunikasi, tapi ia menatap mataku dengan sangat tajam dan senyum yang sinis.
Sementara seorang  dukun duduk bersimpuh di depan pintu gereja. Gereja itu gelap sekali, altarnya hanya diterangi cahaya lilin.
Dari luar aku mendengar suara seperti sedang beribadah. Dengan perasaan takut karena gerejanya gelap, hening, aku memberanikan mengintip masuk. Ternyata tak ada seorang pun di sana.
Namun tiba-tiba si dukun bangkit berdiri dari pintu gereja dan mengangkat kedua tangannya. Seorang gadis cantik muncul dari belakang altar. Mengambil posisi seakan hendak memimpin misa. Ia hanya mengenakan seragam ajuda, yang saya tahu hanya sebagai pendamping para imam dalam memimpin ibadah.
Dukun itu menoleh dengan tatapan menantang. Ia rupanya membaca batinku yang mencurigai kejahatannya terhadap bocah lelaki yang dilahirkan di samping gereja tadi.
Dengan tingkah berdiri mencakar pinggang, ia mengangkat kedua tangannya, lalu menurunkannya kembali dan melipat silang di dada. Â Tatapan tajamnya terus mengawasi apa yang hendak kubuat dengan bocah lelaki itu.
Saat bocah itu berjalan pelan mendekat, dan yakin dengan tanganku bisa meraih lehernya, Â dengan cepat aku raih lehernya dengan kedua tangan. Mencekiknya, lalu membantingkan tubuhnya ke tanah.
"Kau ini siapa?," bentakku. Tetapi semakin kuat kedua tanganku mencekram-cekik lehernya, semakin bocah itu tertawa. Si dukun mengawasi dengan tertawa.
Aku mengabaikan ocehan si dukun, dan tetap fokus pada mata bocah itu sementara genggaman kedua tanganku tidak lepas dari lehernya.
Aku sadar, seseorang lain menatapiku tajam dari jendela kedua bola mata anak itu. Batinku berteriak, anakku dalam bahaya. Aku harus mencekik lehernya semakin kuat.Â
Aku yakin, jiwa lain yang mendiami tubuh anak itu akan segera pergi hanya dengan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. Namun kekhawatiran lain muncul, jiwa itu akan kembali memperdayai rahim-rahim yang lain. (bagian 1-bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H