"Kau ini siapa?," bentakku. Tetapi semakin kuat kedua tanganku mencekram-cekik lehernya, semakin bocah itu tertawa. Si dukun mengawasi dengan tertawa.
Aku mengabaikan ocehan si dukun, dan tetap fokus pada mata bocah itu sementara genggaman kedua tanganku tidak lepas dari lehernya.
Aku sadar, seseorang lain menatapiku tajam dari jendela kedua bola mata anak itu. Batinku berteriak, anakku dalam bahaya. Aku harus mencekik lehernya semakin kuat.Â
Aku yakin, jiwa lain yang mendiami tubuh anak itu akan segera pergi hanya dengan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. Namun kekhawatiran lain muncul, jiwa itu akan kembali memperdayai rahim-rahim yang lain. (bagian 1-bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H