Mohon tunggu...
Felix Aditya
Felix Aditya Mohon Tunggu... Lainnya - orang jawa

nerimo ing pandum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia jawa dalam berbahasa

24 November 2020   16:47 Diperbarui: 24 November 2020   18:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara kita berbahasa sekaligus berinteraksi kepada orang lain adalah hal yang penting untuk diperhatikan karena cara kita berbahasa dan bertutur mencerminkan sifat kita sebagai pribadi. Dalam bukunya Asti musman menyebutkan “Ajining diri soko lathi” yang artinya adalah harga diri seseorang dilihat dari lidahnya atau omongan dan ucapan yang keluar dari mulutnya. Dalam budaya jawa bahasa sangat diperhatikan dalam melakukan interaksi kepada orang lain, dari mulai orang tua, teman sebaya dan anak-anak memiliki jenis-jenis bahasa yang berbeda. Tentu saja tidak hanya bahasa secara verbal orang jawa juga memperhatikan bahasa-bahasa non-verbal. Dikutip dari Tri handayani dalam artikrlnya di IDN Times ada 4 tingkatan bahasa dalam budaya jawa. Tingkatan pertama dalam bahasa jawa adalah “ngoko lugu”. Jenis bahasa ini diggunakan untun berkomunikasi kepada anak-anak, pemuda atau orang yang sepantaran dengan umur kita. Tingkatan kedua adalah “ngoko alus”. Tingkatan bahasa ini diggunakan untuk orang yang sudah akrab tetapi masih menjunjung rasa hormat, contohnya adalah rekan kerja. Tingkatan bahasa yang ketiga adalah “krama lugu”. Tingkatan bahasa ini diggunakan untuk berkomunikasi kepada orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya. Tingkatan bahasa yang terakhir adalah “krama inggil”. Tingkatan bahasa ini adalah tingkatan tertinggi dalam bahasa jawa, bahasa ini diggunakan untuk orang yang lebih tua dan keudukannya yang lebih tinggi. Perbedaan krama inggil dan krama lugu ada pada beberapa kosakata dan tingkatannya.   

Yang perlu diperhatikan adalah istilah muda dan tua tidak selalu identik dengan umur tetapi juga strata dan status sosial yang disandang lawan bicara. Sebagai manusia yang beradab maka kita harus mulai belajar mengenai hal ini. Terkhusu untuk kita yang tinggal di pulau jawa terlebih di daerah DIY, karena dengan kita mempelajari dan menerapkan hal ini kita memiliki sikap yang beradab dan sekaligus melestarikan bahasa jawa yang sudah jarang diketahui orang banyak. 

Selain bahasa verbal orang jawa juga memperhatikan betul bahasa non verbal. Orang jawa memiliki pola pikir yang simbolik begitu juga terkadang orang jawa menyampaikan sesuatu tanpa harus berkata satu patah katapun. Salah satunya adalah istilah “esem bupati”. Asti musman dalm bukunya menjelaskan “esem bupati” merupakan komunikasi dengan senyum. Senyuman disini umunya merupakan pertanda hal baik, persetujuan, keberhasilan dan hal baik lainnya. Contoh penerapannya adalah presiden Soeharto pada massa orde baru sering menggunakan komunikasi non-verbal “esem bupati”. Konon katanya jika presiden Soeharto sudah mengelurakan “esem bupati” pada raut wajahnya maka tanpa mengeluarkan satu patah katapun artinya urusan sudah selesai atau mencirikan sebuah keberhasilan yang dicapainya.   

SUMBER:

Musman, A. (2018). Bahagia Ala Orang Jawa. Yogyakarta. Pustaka Jawi. 

https://www.idntimes.com/life/education/tri-handayani-9/tingkatan-bahasa-dalam-bahasa-jawa-c1c2/4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun