Mohon tunggu...
Felice
Felice Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Saya suka thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pentigraf: Penjaga Sungai

24 April 2023   13:20 Diperbarui: 7 Juli 2023   21:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Hari itu aku sedang menggambar di tepi sungai untuk mendapatkan pemandangan alam yang indah. Sungai itu tenang dan sepi, aku tidak akan pernah menyangka akan ada seseorang, terlebih seorang anak menyapaku di sini. Seorang anak perempuan mendatangiku secara tiba-tiba, dia mengagumi karya lukisku. “Gambar kakak benar-benar terlihat seperti bunga teratai di sungai itu. Aku sangat menyukainya!” pujinya kagum. Seketika hatiku menjadi sangat bergembira. Aku merasa terapresiasi melakukan hobiku. Aku bahkan sempat berpikir bahwa ini hanya halusinasiku seperti biasa, tetapi kehadirannya terasa terlalu nyata untuk dianggap mimpi. Aku berusaha menyambutnya dengan hangat. Dia memperkenalkan namanya, Rona. “Nama kita ternyata mirip ya, hanya beda satu huruf. Aku Roni,” balasku dengan senyuman berusaha terlihat akrab. Dia berumur sembilan tahun. Aku tetap melanjutkan karyaku sembari kami berdua mengobrol. Gambarku hari ini terlihat semakin cantik karena aku memutuskan untuk menggambarnya juga. Rona semakin bersemangat saat melihat dirinya di buku sketsaku. 

          Obrolan kami awalnya santai dan asyik, hingga kami sampai pada topik mengenal latar belakang masing-masing. Ternyata Rona adalah anak yang ditelantarkan keluarganya di sekitar sungai ini. Dia hidup dengan membersihkan sampah-sampah di sekitar atau di dalam sungai ini. Dia biasanya tidur di depan rumah warga atau di emperan toko. Walau begitu, tidak ada masyarakat sekitar yang ingin mengadopsinya, Rona tidak punya rumah. Aku sungguh tidak tega mendengar kisahnya. Sangat disayangkan tidak ada orang yang ingin merawatnya, padahal Rona adalah anak yang cerdas dan cantik, dia tidak bersekolah, tetapi kelakuannya tidak seperti anak yang tidak berpendidikan. Andai aku sudah dewasa, aku pasti akan merawatnya dengan senang hati. Aku balik menceritakan masa laluku kepadanya, dia mendengarkanku dengan saksama. Rona merasa iba denganku. Padahal sudah jelas hidupnya lebih susah daripada diriku. Aku jelas bersyukur masih memiliki ayah dan rumah, walau menderita penyakit mental.

          Sungai itu tetap sepi sedari siang tadi hingga petang. Aku mulai merasa ada yang aneh. Kami sudah bercakap-cakap panjang bagaikan saudara, aku jadi merasa bahwa Rona justru tidak ingin berpisah dariku. Padahal aku jelas sudah lelah seharian berkomunikasi sambil menggambar bersamanya. Jika ditotal karya yang sudah kami buat sebanyak 6 karya, di setiap karya itu ada campur tangan Rona. Dia cukup pandai menggambar. Sebagai tanda perkenalan, kami saling menggambarkan sketsa wajah kami menurut sudut pandang masing-masing. Aku memberikan hasil karyaku kepadanya lalu beranjak dari batu yang kududuki selama ini, melambaikan tangan sembari mengucap selamat tinggal kepadanya. Rona seketika membatu, dia benar-benar diam, bahkan tidak bergerak sedikitpun. Aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh, hal ini membuatku resah dan segera melangkahkan kakiku dengan cepat. Saat aku menengok ke belakang, masih mengharapkan respon darinya, Rona sudah tidak ada. Setibanya di rumah, aku menengok kembali hasil karyaku. Anehnya semua karya yang kubuat dengannya hari itu sirna. Hanya ada sketsa yang sudah kuberikan kepadanya tadi sore di tasku. Sketsanya terlihat hidup, bukan seperti sketsa. Seakan-akan aku sedang melihatnya secara langsung seperti tadi. Cantik. Jika dipikir-pikir lagi, bukankah aneh seorang anak 9 tahun hidup sendirian? Akhirnya aku pun mengambil kesimpulan bahwa dia mungkin hanyalah arwah yang menyukai karyaku. Aku sadar memang harus terbiasa dengan kejadian ini, semenjak mata batinku terbuka. Aku memajang foto kami sebagai kenang-kenangan di ruang karyaku. Rona kini menjadi salah satu sahabat baikku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun