Di ujung kota Semarang, terdapat kedai ayam goreng yang sudah berdiri sejak 1960. Aku dan pacarku mengunjungi kedai sepi ini paling tidak sekali setiap bulan. Kami menganggapnya sebagai kencan sederhana untuk menjauh sejenak dari hiruk pikuk tengah kota yang padat. Cita rasa ayam goreng di sini tidak pernah berubah, daging yang lembut, bumbu gurih yang khas, dilengkapi dengan sambal manis yang khas juga. Ini menu favoritku. Pacarku lebih suka ayam bakar dan sayur beningnya. Kami sangat bahagia berada di sana. Kedai itu sudah terasa seperti rumah tempat kita pulang.
     Suatu sore saat kami hendak mengisi perut di kedai itu, tetapi tempat itu hilang. Tidak ada jejak bekas keberadaan kedai yang cukup luas itu. Semuanya sudah menjadi pelataran datar. Pacarku berpikir bahwa mungkin saja kami salah alamat, tetapi aku mengelaknya karena aku yakin kami berdua sudah sangat hafal dengan jalan menuju kedai itu. Kami pun berusaha mencarinya di sekitar area itu, barangkali memang kedainya pindah. Kami semakin jauh dari lokasi awal kedai itu. Aku takut jika kami tersesat sebab kami memang belum familiar dengan tempat ini.Â
     Biasanya, kami hanya ke sini untuk mengunjungi kedai sepi itu. Matahari sudah akan terbenam sepenuhnya, dan kami tak kunjung menemukan kedai itu. Aku mengusulkan ke pacarku untuk kembali saja mengingat hari yang sudah gelap. Pacarku memang bebal. Dia tetap ingin mencarinya sampai ketemu. Padahal jalan menuju kembali saja belum tentu bisa dia ingat karena gelapnya malam. Aku terus memaksanya untuk menyerah hingga akhirnya kami pun berusaha kembali ke tempat dia memarkirkan mobil.
     Pacarku memasang senter melalui ponselnya. Kami berjalan pelan-pelan berusaha kembali ke tempat awal. Tempat ini sudah seperti hutan yang gelap dan banyak tanaman menjalar. Kami harus berhati-hati. Pacarku sangat percaya diri bahwa dia mengingat tempat parkiran mobil dengan tepat, aku pun mengikutinya dengan percaya juga. Namun nyatanya sampai sekarang pun kami masih belum bisa menemukannya. Ketakutanku sepertinya menjadi nyata, kami tersesat.Â
     Kami berdua sangat lelah dan kelaparan, sehingga kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Ditambah sinyal di tempat ini buruk sekali, kami tidak mampu meminta bantuan ke siapa-siapa. Aku berdoa pada Tuhan agar diriku bisa selamat dari tempat sepi nan mengerikan ini. Tiba-tiba pacarku bereaksi seakan melihat sesuatu yang mampu menyelamatkan kami. Dia berbinar-binar menunjuk sesuatu di depan, sambil bersorak "Itulah jalan keluarnya!"
     Aku benar-benar tidak paham. Menurut penglihatanku tidak ada apapun di depan sana. Aku jadi ngeri sendiri melihatnya. Laki-laki itu segera berdiri dan berlari ke depan dengan semangat. Aku segera mengikutinya juga meskipun aku tidak tahu tujuannya. Aku yang tertinggal di belakang sontak terkejut dan segera menghentikan langkahku saat melihat pacarku jatuh ke suatu lubang. Teriakannya terdengar begitu nyaring, aku segera memeriksa lubang tersebut. Namun saat aku melihat isi lubang yang cukup besar itu, tidak terlihat apa-apa, kosong.Â
     Aku sangat kebingungan akan di mana keberadaan pacarku dan semua hal yang hilang ini. Badanku merinding, bukan karena suhu yang dingin, tetapi karena keadaan yang aneh ini. Aku pun berlari berusaha mengabaikan suara teriakan minta tolong pacarku yang semakin keras semakin aku berusaha menjauh darinya. Aku berlari dan berlari dan berhenti saat menemukan lampu jalanan. Aku menghela nafas lega, karena sepertinya sudah berhasil keluar dari kegelapan. Suara minta tolong pacarku sudah tidak terdengar. Untuk sesaat kupikir aku sudah aman dan bisa meminta bantuan melalui telepon. Ini tampak seperti tempat awal aku mendarat dengan pacarku, harusnya sinyalnya baik.Â
     Belum sempat aku menelpon siapapun, tiba-tiba, lampu jalanan mati. Ini kegelapan paling gelap dan mencekam yang pernah kualami. Ponselku terjatuh dan aku tidak bisa menemukannya walau sudah meraba-raba. Angin malam memeluk tubuhku erat menimbulkan getaran di sekujur tubuhku. Suara-suara binatang malam yang menganggu membuatku semakin merinding. Aku kembali berlari. Keringatku mengucur semakin deras, tidak ada cahaya lagi untukku, jantungku berdetak kencang, perutku lapar, aku hanya berharap ini semua mimpi. Aku terduduk di tanah basah yang dingin, tidak tahu menahu ini pukul berapa, aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa. Aku hanya pasrah saat tubuhku terjatuh di tanah dan kesadaranku lenyap.
     Aku terbangun pada pagi hari. Masih di tempat yang sama aku tertidur. Semua ini gila dan tidak masuk akal. Seharusnya aku sudah mati mengingat keadaanku yang sangat parah kemarin malam. Tidak ada apa-apa di sekitarku, hanya tanah dan langit cerah yang bisa kulihat dan rasakan. Entah bagaimana tetapi aku belum mati. Aku rasa ini tanda bagiku untuk terus bertahan hidup di kawasan maut ini.Â
     Aku berlari berusaha mencari jejak-jejak peradaban manusia ditemani matahari yang bersinar terang. Aku tidak tahu ini bumi, Semarang, atau planet lain, yang jelas aku berusaha mencari manusia di sini. Aku sangat kesepian. Pencarianku belum membuahkan hasil hingga matahari bersinar sangat terik yang membuatku pingsan lagi. Saat terbangun, aku di kegelapan lagi. Berlari lurus berharap menabrak manusia hingga aku pingsan karena kelelahan lagi. Begitu terus siklusnya hingga aku menyerah.
     Aku tidak mati, sudah beberapa kali aku mencobanya tetapi gagal. Aku abadi. Sudah... tidak tahu berapa tahun sejak kejadian itu, aku masih sendirian di tempat asing ini.