Mohon tunggu...
Felice
Felice Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Saya suka thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rajutan

6 April 2023   16:40 Diperbarui: 6 April 2023   17:03 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Aku akan kabur dari rumah, aku sudah muak tinggal bersama keluargaku yang berantakan. Ayah dan ibu sama-sama berselingkuh. Status pernikahan mereka hanyalah pencitraan. Aku sangat kesal melihat mereka disanjung-sanjung sebagai pasangan serasi oleh keluarga besarku yang telah menjodohkan mereka. Pada kenyataannya, semuanya hanyalah sandiwara mereka, bahkan aku pun termasuk sandiwara mereka. Aku diadopsi saat mereka bulan madu di negara lain. Mereka bahkan rela memalsukan akta kelahiranku, foto kelahiranku, dan semuanya tentangku demi keegoisan mereka. Mereka tidak pernah memedulikanku, semua kewajiban mereka atasku diserahkan sepenuhnya kepada nenek.

       Sore itu aku mengemas beberapa barang kesukaanku ke dalam tas rajut yang berukuran cukup besar. Aku membawa alat jahit dari nenek, piyama yang lusuh, dan beberapa baju hasil jahitanku. Aku memang sangat suka menjahit atau semacamnya. Tas rajut ini awalnya adalah buatan ibuku yang gagal saat dia berusaha membuat mertuanya terkesan. Hal ini membuatku berinisiatif melanjutkan rajutannya hingga tuntas agar membuat ibu terkesan juga. Begitu juga dengan piyama favorit ayah yang koyak. Dia sangat menyayangi piyama itu, bahkan di hari piyama itu koyak dia rela belajar menjahit dari internet walau berujung dengan kegagalan. Dia semakin terpukul karena koyakannya justru semakin besar. Melihat pria malang itu, aku pun berinisiatif menjahit piyamanya semalam penuh, berharap bahwa ini dapat memperbaiki hubungan dingin kita. Semua harapanku itu pupus di pagi hari. Saat aku memberikan piyama hasil jahitanku, dia tidak meliriknya sedikit pun. Ayah bilang dia tidak suka memakai pakaian bekas jahitan, terasa tidak nyaman di badannya. Padahal aku sudah memastikannya bahwa aku menjahitnya sehalus mungkin. Satu-satunya orang yang mengapresiasi jahitanku sekaligus yang mengajariku teknik menjahit adalah nenek. Dia sangat menyayangiku dan memanjakanku. Neneklah yang membuatku bertahan selama ini, dia yang selalu menganggapku ada di rumah ini. Apa boleh buat, sekarang alasanku bertahan di sini sudah hilang, nenek meninggal hari ini. Itulah alasanku kabur dari bangunan ini, "rumahku" sudah hancur.

         Setelah selesai mengemas semua barang bawaanku dan bersiap-siap, aku segera meninggalkan bangunan mewah ini tanpa berpikir panjang. Orang-orang rumah sedang menyambut para tamu yang berbela sungkawa, jadi tidak ada satupun yang memperhatikanku keluar dari rumah. Jasad nenekku sudah dimakamkan tadi pagi, acara ini sudah tidak berarti bagiku. Sudah cukup aku menangisinya, sekarang saatnya aku harus hidup mandiri sesuai dengan nasihatnya. Aku memulai pelarianku, dalam arti yang sebenarnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menjauhi rumah penuh kenangan pahit itu. Tidak ada tempat spesifik yang ingin aku tuju, yang pasti aku hanya ingin bebas.

          Tak kusangka aku sudah berlari sangat jauh. Nafasku mulai terengah-engah dan kakiku mulai pegal. Bunyi keroncongan perutkulah yang paling parah, tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena sibuk menangis. Untungnya, aku membawa beberapa lembar uang curianku dari kamar ayah tadi pagi, aku tidak sebodoh itu untuk kabur dari rumah tanpa sepeser uang. Di tempat yang asing ini, ada kedai mie kecil yang buka. Aku segera mengeluarkan dompetku dari tas. Aku mengambil uang 20.000 rupiah. Tiba-tiba desiran angin kencang menyerbu uangku. Hanya dengan begitu, dompetku terjatuh dan semua uangku terbang dibawa angin, tubuhku pun ambruk tertiup angin deras itu. Mataku perih oleh pasir-pasir yang hinggap di kelopak mataku. Aku tidak sempat mengejar uang-uang itu. Setelah angin pembawa sial itu sedikit mereda, aku segera bangkit dan tetap menuju ke kedai itu. Aku berharap mereka mengasihani gadis malang sepertiku dan memberikan makanan gratis. Harapanku seketika pupus, lingkungan di sini tidak mengenal rasa iba. Aku justru diusir dan diolok-olok sebagai gelandangan. Aku menepi di jalanan yang sepi ini. Air mataku mulai bercucuran, bersamaan dengan keroncongan perutku yang semakin meronta-ronta, kepalaku berputar-putar bagai angin topan. Aku kehilangan kesadaran di depan bengkel seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun