[caption id="attachment_174041" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Dua tahun lalu, adik sepupu saya yang waktu itu masih duduk di kelas 5 SD sering mengeluhkan jadwal sehari-harinya yang padat. Pagi-pagi udah mesti sekolah, pulang siang, belum lagi kalo ada ekstrakurikuler, terus harus lanjut les. Begitu seterusnya, 5 hari seminggu. Maklum, saat itu les tambahan yang diikutinya memang tergolong cukup banyak, mulai dari les bahasa inggris, les matematika, dan les piano. Saking padatnya, makan siang pun sering dilakukan di dalam kendaraan selama perjalanan dari sekolah menuju tempat les. Dengan jadwal yang padat, alhasil sampe rumah udah sore menjelang malam. Padahal, masih harus ngerjain PR yang segunung banyaknya atau belajar untuk menghadapi ulangan esok hari.
Di era globalisasi ini, dimana tantangan hidup semakin besar, banyak orang tua yang kemudian berlomba-lomba untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Demi masa depan yang gemilang, banyak orang tua rela mengeluarkan budget yang nggak sedikit untuk pendidikan anaknya sejak usia dini. Apalagi, pendidikan anak usia dini sekarang ini udah seperti jamur di musim hujan. Begitu juga dengan tempat kursus, mulai dari yang bikin si anak pintar baca, nulis, berhitung, berbahasa asing, main musik, menari, berenang, dan lainnya.
Memang nggak ada yang salah sih sebenarnya dengan memberikan pendidikan anak sejak usia dini. Bagaimanapun juga semua yang dilakukan orang tua bertujuan baik bagi si anak. Lagipula, pendidikan anak usia dini justru membuat tumbuh kembang si anak dapat berjalan optimal, baik itu secara fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), dan sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasinya (sumber: disini).
[caption id="attachment_173879" align="aligncenter" width="425" caption="Gambar: www.emotional-intelligence-education.com"]
Tapi ternyata banyak orang tua sekarang yang justru menyalahartikan teori tersebut dengan memberikan pendidikan dan aktivitas yang berlebihan kepada si anak. Menurut ahli psikologi anak asal Amerika, David Elkind, ada kemungkinan anak yang diberikan rutinitas padat akan menderita hurried child syndrome (HCS). HCS adalah suatu kondisi dimana orang tua menuntut anaknya untuk tumbuh dan berkembang terlalu cepat. Atau dengan kata lain menjadikan anaknya sebagai anak karbitan. Fenomena ini udah jadi tren pendidikan anak zaman sekarang.
Sebagian orang tua sangat terobsesi agar anaknya bisa menjadi yang terbaik. Mereka memaksakan kehendak pada anaknya untuk menjalani sederet aktivitas yang telah diaturnya. Mereka pun juga menunut agar si anak berprestasi di sekolahnya dan ingin anaknya menjadi "superkids" yang ahli dalam segala bidang. Si anak diperlakukan sebagai miniatur orang dewasa - dipaksa melakukan sesuatu yang belum sesuai dengan usianya.
Padahal, usia anak yang terbilang dini masih senang-senangnya bermain. Dengan penjadwalan ketat, tentu saja waktu untuk bermain menjadi kurang, kehidupan masa anak-anaknya menjadi hilang. Akibatnya, si anak jadi cepet bosan, jenuh, nggak semangat belajar, dan ujung-ujungnya berpengaruh pada prestasinya di sekolah. Selain itu, si anak merasa dirinya nggak dicintai orang tuanya karena perlakuan orang tua yang otoriter, terlalu mengatur, memaksakan kehendak, dan mengekang kebebasannya. Dan nggak menutup kemungkinan kalo makin diteruskan si anak menjadi depresi dan stres (sumber: disini).
Dampak lainnya, anak karbitan menjadi cepat "mekar" sebelum waktunya. Lihat aja tingkah anak zaman sekarang yang udah berperilaku layaknya orang dewasa, mulai dari cara berpakaian, dan hal lainnya. Walaupun tingkat kecerdasannya cepat berkembang karena dikarbit, lain halnya dengan tingkat emosi dan perasaan. Emosi dan perasaan memiliki proses dan waktunya sendiri untuk berkembang, nggak bisa dipaksakan. Hal ini tergantung pada keadaan dan pengalaman si anak sendiri. Bisa jadi hanya penampilannya aja yang kelihatannya dewasa tapi ternyata emosinya masih labil. Dan akibatnya saat si anak mulai remaja, ia akan lebih mudah terjerumus dalam pergaulan yang negatif (sumber: disini).
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan dalam pengasuhan dan pendidikan anak oleh orang tua. Menyeimbangkan antara kebutuhan anak dalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilannya tanpa menuntutnya secara berlebihan. Dengan begitu, anak dapat bertumbuh secara alami sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya. Bukan berarti kursus atau les tidak diperlukan, melainkan jadikan hal tersebut sebagai tambahan dalam mendukung bakat yang dimiliki si anak. Pola pengasuhan orang tualah yang menjadi hal terpenting dalam tumbuh kembang anak. Bagaimanapun juga segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik adanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI